Rabu, 29 Desember 2010

PERJUANGAN RAKYAT ACEH MEMPERTAHANKAN KEMRDEKAAN

 Provinsi Nangroeh Acer Darussalam atau yang lebih dikenal dengan singkatan NAD terdiri dari 10 suku asli, yaitu suku Aceh, suku gayo, suku alas, suku aneuk jamee, suku melayu tamiang, suku kluet, suku devayan, suku sigulai, suku haloban dan suku julu. Suku Aceh tersebar terutama di kota Sabang, kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, kota Lhokseumawe, kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nangan Raya, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. Disamping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (negeri yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka al aydrus, al habsyi, al attas, al khatiri, badjubier, sungkar, bawazier dan lain-lain, yang semuanya merupakan marga-marga bangsa Arab asal yaman.
Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh dan menghilangkan nama marganya. Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa India, contoh: indra puri). Keturunan India dapat ditemukan terebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh. Pedagang-pedagang tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama lonceng cakra donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak itu hubungan dagang antara Aceh dan Tingkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan-keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan banda, dalam nama kota banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (banda/bandar arti: pelabuhan). Di samping itu adapula keturunan bangsa Portugis, di wilayah kuala daya – lamno (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nahkoda kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia) dan sempat singgah dan berdagang di wilayah lamno, dan sebagian besar diantara mereka tetap tinggal dan menetap di lamno. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu lamno di bawah kekuasaan kerajaan kecil lamno, pimpinan raja Mereuhoem daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Pada saat ini umumnya mereka semua sudah memeluk agama Islam. Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Marco Polo, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh.

Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta perkasa alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, ottoman, dan Belanda. Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dngan potugal,  lalu sejak abad ke-18 dengan Britania raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di kedah dan pulau pinang disemenanjung melayu kepada Britania raya. Pada tahun 1824, persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatera kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.         
Hanya sedikit yang mengetahui tercatat dalam sejarah, setelah proklamasi dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jakarta, Keresidenan Aceh adalah yang pertama berani dan sanggup mengibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh wilayah Aceh dari tingkat keresidenan sampai ke tingkat desa. Pada saat itu Jepang masih berkuasa penuh, dan Belanda bersama sekutunya mulai menguasai Sabang.
Tanah Rencong itu termasuk lebih dulu dari daerah lain. Dalam waktu hanya sepuluh hari setelah proklamasi, tepatnya pada 27 Agustus 1945, para perwira eks Giyugun di koetaradja (sekarang Banda Aceh) mendirikan API (Angkatan Pemuda Indonesia), yang menjadi cikal bakal Angkatan Perang Indonesia. Kemudian namanya diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu Tentara Republik Indonesia (TRI) dan terakhir menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keberhasilan mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Tanah Rencong ini diakui oleh Jenderal Besar AH Nasution, mantan Menko Hankam/Kasad.
(T.H.M.Syahrul_Azwar,http://www.mail-archive.com/permias@listserv.syr.edu/msg08980.html:)

1.      Pertumbuhan Dan Perkembangan Kesultanan Aceh
Aceh pada Tahun 1514, telah berdiri sebuah kerajaan berdaulat di bawah naungan Islam di ujung pulau Sumatera bernama Kesultanan Aceh Darusallam dengan Ali Mughayat Syah sebagai sultan pertama. Dalam kitab Bustan as-Salatin, kitab kronik raja-raja Aceh, disebutkan bahwa sultan Ali Mughayat Syah mendirikan Kesultanan Aceh sebagai pengganti beberapa kerajaan Islam sebelumnya, seperti Samudera Pasai dan kemudian Malaka yang telah jatuh ketangan Portugis dan mempersatukan dua kerajaan kecil, Mahkota Alam dan Darul Kalam. Pusat kesultanan adalah Banda Aceh Darussalam, yang juga disebut Kuta Raja.
Dalam perkembangannya, Aceh memang sedang dalam keadaan maju hingga Aceh dikenal dengan armada militernya yang kuat. Armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Brito menyerang Aceh pada 1521, namun pasukan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah berhasil mengalahkannya. Lalu pada 1547 dan 1568, Sultan Alauddin al-Qahhar menginvasi Malaka yang dikuasai Portugis. Menurut seorang musafir Portugis, Mendez Pinto, kala itu Aceh memiliki tentara dari berbagai negara, antara lain Turki, Cambay dan Malabar. Sultan Alauddin juga telah membuka hubungan diplomatik dengan kesultanan Turki Usmani. Tahun 1562, Sultan mengirim utusannya ke Istambul untuk membeli meriam dari sultan Turki. (Aninomous, Http://Fazilet.Blogspot.Com/2005/01/Tentang-Aceh.Html , Akses Tanggal 13 Oktober 2008).
Sultan Alauddin juga memelopori penyebaran Islam di pulau Sumatera. Ia mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia untuk menyebarkan dakwah Islam ke pedalaman Sumatera, mendirikan pusat dakwah Islam di Ulakan dan membawa Islam ke Minangkabau dan Indrapura (sekarang wilayah provinsi Sumatera Barat). (Http://lickymulyadi.sejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/ , Akses Tanggal 13 Oktober 2008).
Aceh gilang-gemilang di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa kekuasaannya, wilayah Aceh bertambah luas meliputi Sumatera Utara dan Semenanjung Malaya (kini Malaysia). Dengan armada militernya yang disegani, Aceh menguasai perdagangan lada di pesisir Sumatera Barat sampai Indrapura dengan Pariaman sebagai bandar terpentingnya. Sultan Iskandar Muda terus meneruskan perjuangannya mengusir Portugis dari Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Penaklukan pada masa Iskandar Muda meliputi Pahang (1618), Kedah (1619), Perak (1620) dan kemudian Indragiri dan Batu Sawar, ibukota Johor. (Aninomous,Http://Wapedia.Mobi/Id/Sultan_Iskandar_Muda.  Akses tanggal 13 Oktober 2008).
Sultan Iskandar Muda juga menjalin hubungan baik dengan daerah-daerah taklukannya di Semenanjung Malaya. Putrinya yang bernama Safiatuddin dinikahkan dengan seorang Pangeran Pahang, putra sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang. Kelak Iskandar Muda mewariskan mahkota sultannya kepada menantunya itu, yang setelah menjadi Sultan bergelar Sultan Iskandar Tsani. (Anonimous, http://Fazilet.Blogspot.Com/2005/01/Tentang-Aceh.Html,).
Aceh makin hari makin berkembang, karena para pedagang yang terdesak oleh para Portugis, mencari bandar lain yang berdekatan. Adalah wajar bahwa antar Aceh dengan Portugis di Malaka berkembang suatu situasi permusuhan yang makin lama makin meningkat dan tak dapat dihindarkan bahwa timbulnya pembenturan-pembenturan yang bersenjata di laut antara kedua belah pihak (Nugroho Notosusanto, 1991:111).
Pada masa itu kesultanan Aceh memang sedang dalam keadaan maju. Daerah di pulau Sumatera banyak yang jatuh ke tangan Aceh yang kemudian diperintah oleh anggota keluarga sultan Aceh sendiri. Dengan demikian, hubungan antara pusat dengan daerah dapat dijamin (Nugroho Notosusanto, 1991:111).
Meskipun Aceh telah mempunyai wilayah daratan yang luas, tetapi tetap bersifat negara pelayaran dan perdagangan. Sejak dahulu sudah pelayaran antara Aceh dengan India dan tanah Arab. Sejak dahulu sudah ada hubungan antara Aceh dengan India dan tanah Arab. Ketika orang Portugis menguasai Malaka pada 1511, mereka berusaha mencegah berlayarnya orang Aceh (dan orang Indonesia lainnya) ke daerah laut merah tanpa surat izin mereka. Hal itu sesuai dengan kepentingan imperialisme Portugis yang hendak memaksa memonopolinya. Dalam rangka usaha itu pada tahun 1554-1555 Portugis sengaja mengirim kapal ke laut merah untuk menangkap kapal-kapal Aceh dan Gujarat, tetapi usaha itu tidak berhasil (Nugroho Notosusanto, 1991:111).
Menghadapi ancaman bersenjata dari pihak Portugis itu Aceh mengambil beberapa langkah yang perlu. Pertama kali kapal-kapal Aceh yang berlayar ke Timur Tengah dilengkapi dengan meriam-meriam dan prajurit-prajurit termasuk yang berasal dari Turki Abesinia. Selanjutnya Aceh berusaha memperoleh bantuan dari Turki. Untuk itu Aceh mengirim utusan dari Turki, untuk minta bantuan meriam-meriam dan beserta ahli-ahlinya, yaitu ahli pembuat dan ahli penembaknya(Nugroho Notosusanto, 1991:111).
Bantuan-bantuan tersebut menambah kekuatan Aceh dalam pertahanan, Aceh memang selalu menambah kekuatan perangnya. Hal itu dikarenakan Aceh menghadapi lawan yang tidak tanggung-tanggung kekuatannya, yaitu Portugis. Yang bersama Spanyo merupakan raksasa kembar pada masa awal imperialisme. Perang yang dilakukan kerajaan Aceh selama belasan tahun terhadap Portugis telah membuat raksasa imperialisme itu gagal memperluas wilayah kekuasaannya di Asia Tenggara. Paling tidak, Portugis merasa tidak nyaman berdiam di Malaka. (Muhammad Mulyadi Lucky, http:luckymulyadisejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/,).

2.      Kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
Sultan Iskandar Muda (Aceh, 1593 atau 1590 – 27 Desember 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.
Iskandar Muda yang dalam tradisi Aceh juga disebut Marhum Mahkota Alam melanjutkan politik ekspansi raja-raja sebelumnya, kecuali untuk memegang politik hegemoni dan bersamaan dengan itu dominasi ekonomi di Sumatera Utara dan wilayah sekitar Selat Malaka. Menurut Bustanussalatin, dia yang mengembangkan kehidupan beragama Islam di Aceh, antara lain dengan membangun banyak masjid dan melakukan perang jihad terhadap kaum kafir. (Sartono Kartodirjo, 2001:80)
Kejayaan Aceh dirasakan selama dua puluh sembilan tahun masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Bahkan, pada saat itu Aceh dapat dikatakan merupakan salah satu kerajaan kosmopolitan khususnya di Asia Tenggara. Hal itu dapat dilihat dari hubungan-hubungan politik dan perdagangan yang dilakukan kerajaan Aceh. Dalam bidang politik luar negeri tidak diragukan lagi bahwa Aceh telah mengadakan berbagai hubungan dengan berbagai kerajaan di dunia. Selama abad ke-16 dan ke-17 sudah terjalin hubungan diplomatik dan dagang antara Aceh dan Turki. Aceh memandang sultan Turki dapat dijadikan sekutu dalam menghadapi Portugis, meskipun secara geografis berjauhan letak satu dengan yang lainnya. Kelihaian Aceh dalam politik luar negeri terlihat dari kemampuannya melobi Turki, yang pada saat itu merupakan suatu kerajaan super power, untuk memberikan bantuan persenjataan dalam menghadapi kekuatan asing yang mengancam Aceh. Lobi itu menampakkan hasil, beberapa kali Turki mengirimkan bantuan meriam, amunisi, senjata api, tukang cor besi dan nahkoda yang handal kepada Aceh (Muhammad Mulyadi Lucky, http:luckymulyadisejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/,).
Ketika Aceh diperintah Iskandar Muda (1607-1636) Aceh telah menjadi negara terkemuka di Asia Tenggara. Ia menguasai daerah pesisir sebagian besar Sumatera, di barat sampai ke Bengkulu dan di sebelah timur sampai keselatan sungan Indragiri. Semua kerajaan kedak, perak, pahang dan trengganu disemenanjung Malaysia menjadi sebagian dari kerajaan Islam Aceh (Ismail Suny 1980:33).
Iskandar Muda bagian terbesar dari perdagangan merica Sumatera di Banda Aceh dan mengatur monopoli yang tidak diremehkan saudagar-saudagar Eropa. Kadang-kadang kapal Belanda, Inggris dan Perancis pada waktu yang sama berlabuh di Aceh dan Iskandar Muda mengadu domba ketiga bangsa serta menaikkan harga merica dengan sesuka hatinya dan karena sumber timah di pulau Bangka dan Belitung pada waktu itu masih sedikit diketahui orang, pengawasan terhadap tambang-tambang timah dikedah membuat Aceh memegang bola monopoli lain di dunia (Ismail Suny 1980:34).
Pada tahun 1613 orang-orang Aceh menyerang Johor, membakar habis dan menawan sultannya. Setelah itu Aceh menguasai seluruh bagian barat laut Indonesia. Kemenangan atas Johor memungkinkan Aceh mengambil sikap yang lebih keras terhadap orang-orang Belanda yang kemudian membatasi sebanyak mungkin perdagangan dengan Aceh (Ismail Suny 1980:34).
Aceh nampak telah hampir menguasai seluruh Malaysia dan Sumatera, bahkan telah bersiap-siap hendak menyerang Jawa dan Bengkulu ketika ia telah dihalangi kekuatan negeri-negeri tetangga yang kecil-kecil. Armada gabungan Johor, petani dan Portugis Malaka menumpas kekuatan angkatan perang Aceh dalam suatu pertempuran laut yang dahsyat dekat Malaka tahun 1929, kekalahan merupakan titik balik sejarah Aceh (Ismail Suny 1980:34).

3.      Hubungan Aceh Dengan Negara-Negara Di Luar Indonesia
Sebagaimana diketahui Sumatera, khususnya Aceh, SM sudah menjadi perhatian para saudagar baik dari India, Cina dan Timur Tengah. Akan tetapi setelah kehadiran Isa setelah masehi banyak pelaut baik dari India, Cina dan Timur Tengah singgah di ujung pulau Sumatera guna mencari rempah-rempah untuk dibawa ke negerinya. Kehadiran bangsa asing tersebut membuat masyarakat setempat berinteraksi langsung dengan mereka, terutama di bidang ekonomi dan budaya sekaligus membawa peradaban baik Hundustan maupun peradaban Islam. (Aninomous, Http://Fazilet.Blogspot.Com/2005/01/Tentang-Aceh.Html , Akses Tanggal 13 Oktober 2008).
Hubungan Aceh dengan negara-negara di luar Indonesia sebenarnya sudah terjalin sejak zaman kerajaan Peureulak. Kerjasama dilakukan dengan negara-negara Arab, Persia dan India.
Hubungan perdagangan dengan diplomatik sebenarnya telah terjalin sejak awal berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah Aceh. Seperti dengan kerajaan di Peureulak, Taming dan kerajaan Pasai. Hubungan perdagangan dan diplomatik tersebut akan membawa keuntungan kedua belah pihak (A. Rani Usman, 2003:22).
Pihak kerajaan yang ada di Aceh sangat menguntungkan terutama tentang sistem perdagangan yang modern ukuran waktu itu dan alat-alat transportasi serta pembaharuan di bidang teknologi. Sedangkan pihak asing keuntungannya adalah dapat membawa hasil rempah-rempah misalnya pala, cingkeh dan lada mereka bawa keasal negara mereka guna diolah untuk dijadikan bahan makanan dan obat-obatan. Akan tetapi hubungan tersebut menjadi suatu pemaksaan pihak asing untuk mendapatkan keuntungan pada pihak mereka saja, sehingga hubungan tersebut tidak berlangsung lagi secara harmonis (A. Rani Usman, 2003:22).
Sedangkan untuk hubungan dengan bangsa Eropa/Barat akan diuraikan sebagai berikut:
v  Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepad Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”. Serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatera and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
v  Belanda
Selain kerajaan Inggris, pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani diperkarangan sebuah gereja. Kini dimakam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
v  Utsmaniyah Turki
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang – luntang demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal lada Sicupak dan Lada sekarung. Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan bebrapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
v  Perancis
Keraajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda mengemari benda-benda berharga. [2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darut Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khiyali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri Istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu – tetamunya.
2008 (Anonimous,Http://Wapedia.Mobi/Id/Sultan_Iskandar_Muda,)

4.      Sultan iskandar muda dengan agama Islam.
Masa iskandar muda merupakan masa kebanggaan dan kemewahan Aceh, tidak hanya dalam pengaruh dan kekuasaan tetapi juga di bidang susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan perdagangan, kedudukan sesama rakyat sipil, kedudukan rakyat terhadap pemerintahan, kedudukan sesama anggota pemerintahan.
Kemakmuran menimbulkan perkembangan budaya, hal itu dialami oleh kerajaan Aceh . dalam periode-periode keemasan itulah kebudayaan Aceh tumbuh pesat. Selain pusat penciptaan sastra, Aceh merupakan suatu tempat berkembangnya agama Islam. Perkembangan tersebut tumbuh melalui perdebatan-perdebatan pemikiran. Sejak abad ke-15 sufisme tumbuh subur di Aceh, cendikiawan dan ulama mendapatka tempat yang baik di Aceh. Para sufi terkenal di nusantara seperti Hamzah Funsari, Syam Ud-Din, Nur ud-Din ar Riniri, dan Abdul Rauf dari singkel adalah sufi-sufi yang tumbuh bersama kejayaan Aceh. Pengeruh pemikiran sufi-sufi tersebut luas pengaruhnya dalam pemikiran keIslaman di nusantara. Bahkan, Denys Lombard sangat menyakini bahwa apabila dilakukan penelitian sinkronis mengenai seluruh Asia Tenggara, maka akan terlihat hubunga timbal balik antara semua fakta yang berakaitan dengan pemikiran sufi asal Aceh. (Muhammad Mulyadi Lucky, http://lickymulyadi sejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/,)
Dalam soal ilmu pengetahuan dalam bidang agama pun, pada masa lampau, masa Sultan Iskandar Muda itu dapat di katakan sebagai kesadaran. Iskandar Muda mempunyai semangat atau spirit dan minat yang sangat besar sekali untuk mendirikan mesjid stsu rumah ibadah dan pesantren. Ia yang telah membuat mesjid Baitu-ur Rahman dan beberapa mesjid pada tiap-tiap negeri dialah yang menegakkan agama Islam di Aceh. Memerintah rakyat Aceh shalat lima waktu, puasa ramadhan dan puasa sunat serta menjauhi rakyat Aceh dari judi dan minuman yang memabukkan. Tokoh Iskandar Muda kemudian dibesar-besarkan namanya seperti menjadi dongeng. Melalui buku ini Denys Lombard menginginkan adanya penetapan garis batas yang tegas antara dongeng dan sejarah. (Muhammad Mulyadi Lucky, http://lickymulyadi sejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/,)
Iskandar Muda telah mengadakan Perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan adat Meukuta Alam yang di sadur dan di jadikan batu dasar kemudian ketika putrinya Tadjal Alam Safiatuddin dan raja-raja seterusnya memerintah.
Penerbitan hukum yang di bangun oleh Iskandar Muda memperluas kemasyurannya sampai keluar negeri, misalnya ke India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil peraturan-peraturan hukum di Aceh itu untuk di teladani terutama karena peraturan tersebut berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama.
Di ilmu pengetahuan agama (toelogi) khususnya Islam, masa Sultan Iskandar Muda semakin terkenal. Nama-nama ulama maupun pujangga Hamzah Funsari, Syamsudin Pasai adalah nama-nama yang tidak asing lagi hingga kini.
  
Ismail Suni, 1980. Bungan Rampai Tentang Aceh, Bharat Aksara: Jakarta.

Nugroho Notosusanto, Dkk. Sejarah Nasional 2 untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Depdikbud: Jakarta.

 Ranu Usman, 2003. Sejarah Peradaban Aceh, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Sartono Kartodirjo, 2001, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900: Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar