Rabu, 29 Desember 2010

PERJUANGAN RAKYAT ACEH MEMPERTAHANKAN KEMRDEKAAN

 Provinsi Nangroeh Acer Darussalam atau yang lebih dikenal dengan singkatan NAD terdiri dari 10 suku asli, yaitu suku Aceh, suku gayo, suku alas, suku aneuk jamee, suku melayu tamiang, suku kluet, suku devayan, suku sigulai, suku haloban dan suku julu. Suku Aceh tersebar terutama di kota Sabang, kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, kota Lhokseumawe, kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nangan Raya, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. Disamping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (negeri yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka al aydrus, al habsyi, al attas, al khatiri, badjubier, sungkar, bawazier dan lain-lain, yang semuanya merupakan marga-marga bangsa Arab asal yaman.
Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh dan menghilangkan nama marganya. Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa India, contoh: indra puri). Keturunan India dapat ditemukan terebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh. Pedagang-pedagang tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama lonceng cakra donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak itu hubungan dagang antara Aceh dan Tingkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan-keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan banda, dalam nama kota banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (banda/bandar arti: pelabuhan). Di samping itu adapula keturunan bangsa Portugis, di wilayah kuala daya – lamno (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nahkoda kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia) dan sempat singgah dan berdagang di wilayah lamno, dan sebagian besar diantara mereka tetap tinggal dan menetap di lamno. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu lamno di bawah kekuasaan kerajaan kecil lamno, pimpinan raja Mereuhoem daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Pada saat ini umumnya mereka semua sudah memeluk agama Islam. Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Marco Polo, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh.

Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta perkasa alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, ottoman, dan Belanda. Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dngan potugal,  lalu sejak abad ke-18 dengan Britania raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di kedah dan pulau pinang disemenanjung melayu kepada Britania raya. Pada tahun 1824, persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatera kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.         
Hanya sedikit yang mengetahui tercatat dalam sejarah, setelah proklamasi dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jakarta, Keresidenan Aceh adalah yang pertama berani dan sanggup mengibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh wilayah Aceh dari tingkat keresidenan sampai ke tingkat desa. Pada saat itu Jepang masih berkuasa penuh, dan Belanda bersama sekutunya mulai menguasai Sabang.
Tanah Rencong itu termasuk lebih dulu dari daerah lain. Dalam waktu hanya sepuluh hari setelah proklamasi, tepatnya pada 27 Agustus 1945, para perwira eks Giyugun di koetaradja (sekarang Banda Aceh) mendirikan API (Angkatan Pemuda Indonesia), yang menjadi cikal bakal Angkatan Perang Indonesia. Kemudian namanya diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu Tentara Republik Indonesia (TRI) dan terakhir menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keberhasilan mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Tanah Rencong ini diakui oleh Jenderal Besar AH Nasution, mantan Menko Hankam/Kasad.
(T.H.M.Syahrul_Azwar,http://www.mail-archive.com/permias@listserv.syr.edu/msg08980.html:)

1.      Pertumbuhan Dan Perkembangan Kesultanan Aceh
Aceh pada Tahun 1514, telah berdiri sebuah kerajaan berdaulat di bawah naungan Islam di ujung pulau Sumatera bernama Kesultanan Aceh Darusallam dengan Ali Mughayat Syah sebagai sultan pertama. Dalam kitab Bustan as-Salatin, kitab kronik raja-raja Aceh, disebutkan bahwa sultan Ali Mughayat Syah mendirikan Kesultanan Aceh sebagai pengganti beberapa kerajaan Islam sebelumnya, seperti Samudera Pasai dan kemudian Malaka yang telah jatuh ketangan Portugis dan mempersatukan dua kerajaan kecil, Mahkota Alam dan Darul Kalam. Pusat kesultanan adalah Banda Aceh Darussalam, yang juga disebut Kuta Raja.
Dalam perkembangannya, Aceh memang sedang dalam keadaan maju hingga Aceh dikenal dengan armada militernya yang kuat. Armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Brito menyerang Aceh pada 1521, namun pasukan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah berhasil mengalahkannya. Lalu pada 1547 dan 1568, Sultan Alauddin al-Qahhar menginvasi Malaka yang dikuasai Portugis. Menurut seorang musafir Portugis, Mendez Pinto, kala itu Aceh memiliki tentara dari berbagai negara, antara lain Turki, Cambay dan Malabar. Sultan Alauddin juga telah membuka hubungan diplomatik dengan kesultanan Turki Usmani. Tahun 1562, Sultan mengirim utusannya ke Istambul untuk membeli meriam dari sultan Turki. (Aninomous, Http://Fazilet.Blogspot.Com/2005/01/Tentang-Aceh.Html , Akses Tanggal 13 Oktober 2008).
Sultan Alauddin juga memelopori penyebaran Islam di pulau Sumatera. Ia mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia untuk menyebarkan dakwah Islam ke pedalaman Sumatera, mendirikan pusat dakwah Islam di Ulakan dan membawa Islam ke Minangkabau dan Indrapura (sekarang wilayah provinsi Sumatera Barat). (Http://lickymulyadi.sejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/ , Akses Tanggal 13 Oktober 2008).
Aceh gilang-gemilang di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa kekuasaannya, wilayah Aceh bertambah luas meliputi Sumatera Utara dan Semenanjung Malaya (kini Malaysia). Dengan armada militernya yang disegani, Aceh menguasai perdagangan lada di pesisir Sumatera Barat sampai Indrapura dengan Pariaman sebagai bandar terpentingnya. Sultan Iskandar Muda terus meneruskan perjuangannya mengusir Portugis dari Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Penaklukan pada masa Iskandar Muda meliputi Pahang (1618), Kedah (1619), Perak (1620) dan kemudian Indragiri dan Batu Sawar, ibukota Johor. (Aninomous,Http://Wapedia.Mobi/Id/Sultan_Iskandar_Muda.  Akses tanggal 13 Oktober 2008).
Sultan Iskandar Muda juga menjalin hubungan baik dengan daerah-daerah taklukannya di Semenanjung Malaya. Putrinya yang bernama Safiatuddin dinikahkan dengan seorang Pangeran Pahang, putra sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang. Kelak Iskandar Muda mewariskan mahkota sultannya kepada menantunya itu, yang setelah menjadi Sultan bergelar Sultan Iskandar Tsani. (Anonimous, http://Fazilet.Blogspot.Com/2005/01/Tentang-Aceh.Html,).
Aceh makin hari makin berkembang, karena para pedagang yang terdesak oleh para Portugis, mencari bandar lain yang berdekatan. Adalah wajar bahwa antar Aceh dengan Portugis di Malaka berkembang suatu situasi permusuhan yang makin lama makin meningkat dan tak dapat dihindarkan bahwa timbulnya pembenturan-pembenturan yang bersenjata di laut antara kedua belah pihak (Nugroho Notosusanto, 1991:111).
Pada masa itu kesultanan Aceh memang sedang dalam keadaan maju. Daerah di pulau Sumatera banyak yang jatuh ke tangan Aceh yang kemudian diperintah oleh anggota keluarga sultan Aceh sendiri. Dengan demikian, hubungan antara pusat dengan daerah dapat dijamin (Nugroho Notosusanto, 1991:111).
Meskipun Aceh telah mempunyai wilayah daratan yang luas, tetapi tetap bersifat negara pelayaran dan perdagangan. Sejak dahulu sudah pelayaran antara Aceh dengan India dan tanah Arab. Sejak dahulu sudah ada hubungan antara Aceh dengan India dan tanah Arab. Ketika orang Portugis menguasai Malaka pada 1511, mereka berusaha mencegah berlayarnya orang Aceh (dan orang Indonesia lainnya) ke daerah laut merah tanpa surat izin mereka. Hal itu sesuai dengan kepentingan imperialisme Portugis yang hendak memaksa memonopolinya. Dalam rangka usaha itu pada tahun 1554-1555 Portugis sengaja mengirim kapal ke laut merah untuk menangkap kapal-kapal Aceh dan Gujarat, tetapi usaha itu tidak berhasil (Nugroho Notosusanto, 1991:111).
Menghadapi ancaman bersenjata dari pihak Portugis itu Aceh mengambil beberapa langkah yang perlu. Pertama kali kapal-kapal Aceh yang berlayar ke Timur Tengah dilengkapi dengan meriam-meriam dan prajurit-prajurit termasuk yang berasal dari Turki Abesinia. Selanjutnya Aceh berusaha memperoleh bantuan dari Turki. Untuk itu Aceh mengirim utusan dari Turki, untuk minta bantuan meriam-meriam dan beserta ahli-ahlinya, yaitu ahli pembuat dan ahli penembaknya(Nugroho Notosusanto, 1991:111).
Bantuan-bantuan tersebut menambah kekuatan Aceh dalam pertahanan, Aceh memang selalu menambah kekuatan perangnya. Hal itu dikarenakan Aceh menghadapi lawan yang tidak tanggung-tanggung kekuatannya, yaitu Portugis. Yang bersama Spanyo merupakan raksasa kembar pada masa awal imperialisme. Perang yang dilakukan kerajaan Aceh selama belasan tahun terhadap Portugis telah membuat raksasa imperialisme itu gagal memperluas wilayah kekuasaannya di Asia Tenggara. Paling tidak, Portugis merasa tidak nyaman berdiam di Malaka. (Muhammad Mulyadi Lucky, http:luckymulyadisejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/,).

2.      Kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
Sultan Iskandar Muda (Aceh, 1593 atau 1590 – 27 Desember 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.
Iskandar Muda yang dalam tradisi Aceh juga disebut Marhum Mahkota Alam melanjutkan politik ekspansi raja-raja sebelumnya, kecuali untuk memegang politik hegemoni dan bersamaan dengan itu dominasi ekonomi di Sumatera Utara dan wilayah sekitar Selat Malaka. Menurut Bustanussalatin, dia yang mengembangkan kehidupan beragama Islam di Aceh, antara lain dengan membangun banyak masjid dan melakukan perang jihad terhadap kaum kafir. (Sartono Kartodirjo, 2001:80)
Kejayaan Aceh dirasakan selama dua puluh sembilan tahun masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Bahkan, pada saat itu Aceh dapat dikatakan merupakan salah satu kerajaan kosmopolitan khususnya di Asia Tenggara. Hal itu dapat dilihat dari hubungan-hubungan politik dan perdagangan yang dilakukan kerajaan Aceh. Dalam bidang politik luar negeri tidak diragukan lagi bahwa Aceh telah mengadakan berbagai hubungan dengan berbagai kerajaan di dunia. Selama abad ke-16 dan ke-17 sudah terjalin hubungan diplomatik dan dagang antara Aceh dan Turki. Aceh memandang sultan Turki dapat dijadikan sekutu dalam menghadapi Portugis, meskipun secara geografis berjauhan letak satu dengan yang lainnya. Kelihaian Aceh dalam politik luar negeri terlihat dari kemampuannya melobi Turki, yang pada saat itu merupakan suatu kerajaan super power, untuk memberikan bantuan persenjataan dalam menghadapi kekuatan asing yang mengancam Aceh. Lobi itu menampakkan hasil, beberapa kali Turki mengirimkan bantuan meriam, amunisi, senjata api, tukang cor besi dan nahkoda yang handal kepada Aceh (Muhammad Mulyadi Lucky, http:luckymulyadisejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/,).
Ketika Aceh diperintah Iskandar Muda (1607-1636) Aceh telah menjadi negara terkemuka di Asia Tenggara. Ia menguasai daerah pesisir sebagian besar Sumatera, di barat sampai ke Bengkulu dan di sebelah timur sampai keselatan sungan Indragiri. Semua kerajaan kedak, perak, pahang dan trengganu disemenanjung Malaysia menjadi sebagian dari kerajaan Islam Aceh (Ismail Suny 1980:33).
Iskandar Muda bagian terbesar dari perdagangan merica Sumatera di Banda Aceh dan mengatur monopoli yang tidak diremehkan saudagar-saudagar Eropa. Kadang-kadang kapal Belanda, Inggris dan Perancis pada waktu yang sama berlabuh di Aceh dan Iskandar Muda mengadu domba ketiga bangsa serta menaikkan harga merica dengan sesuka hatinya dan karena sumber timah di pulau Bangka dan Belitung pada waktu itu masih sedikit diketahui orang, pengawasan terhadap tambang-tambang timah dikedah membuat Aceh memegang bola monopoli lain di dunia (Ismail Suny 1980:34).
Pada tahun 1613 orang-orang Aceh menyerang Johor, membakar habis dan menawan sultannya. Setelah itu Aceh menguasai seluruh bagian barat laut Indonesia. Kemenangan atas Johor memungkinkan Aceh mengambil sikap yang lebih keras terhadap orang-orang Belanda yang kemudian membatasi sebanyak mungkin perdagangan dengan Aceh (Ismail Suny 1980:34).
Aceh nampak telah hampir menguasai seluruh Malaysia dan Sumatera, bahkan telah bersiap-siap hendak menyerang Jawa dan Bengkulu ketika ia telah dihalangi kekuatan negeri-negeri tetangga yang kecil-kecil. Armada gabungan Johor, petani dan Portugis Malaka menumpas kekuatan angkatan perang Aceh dalam suatu pertempuran laut yang dahsyat dekat Malaka tahun 1929, kekalahan merupakan titik balik sejarah Aceh (Ismail Suny 1980:34).

3.      Hubungan Aceh Dengan Negara-Negara Di Luar Indonesia
Sebagaimana diketahui Sumatera, khususnya Aceh, SM sudah menjadi perhatian para saudagar baik dari India, Cina dan Timur Tengah. Akan tetapi setelah kehadiran Isa setelah masehi banyak pelaut baik dari India, Cina dan Timur Tengah singgah di ujung pulau Sumatera guna mencari rempah-rempah untuk dibawa ke negerinya. Kehadiran bangsa asing tersebut membuat masyarakat setempat berinteraksi langsung dengan mereka, terutama di bidang ekonomi dan budaya sekaligus membawa peradaban baik Hundustan maupun peradaban Islam. (Aninomous, Http://Fazilet.Blogspot.Com/2005/01/Tentang-Aceh.Html , Akses Tanggal 13 Oktober 2008).
Hubungan Aceh dengan negara-negara di luar Indonesia sebenarnya sudah terjalin sejak zaman kerajaan Peureulak. Kerjasama dilakukan dengan negara-negara Arab, Persia dan India.
Hubungan perdagangan dengan diplomatik sebenarnya telah terjalin sejak awal berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah Aceh. Seperti dengan kerajaan di Peureulak, Taming dan kerajaan Pasai. Hubungan perdagangan dan diplomatik tersebut akan membawa keuntungan kedua belah pihak (A. Rani Usman, 2003:22).
Pihak kerajaan yang ada di Aceh sangat menguntungkan terutama tentang sistem perdagangan yang modern ukuran waktu itu dan alat-alat transportasi serta pembaharuan di bidang teknologi. Sedangkan pihak asing keuntungannya adalah dapat membawa hasil rempah-rempah misalnya pala, cingkeh dan lada mereka bawa keasal negara mereka guna diolah untuk dijadikan bahan makanan dan obat-obatan. Akan tetapi hubungan tersebut menjadi suatu pemaksaan pihak asing untuk mendapatkan keuntungan pada pihak mereka saja, sehingga hubungan tersebut tidak berlangsung lagi secara harmonis (A. Rani Usman, 2003:22).
Sedangkan untuk hubungan dengan bangsa Eropa/Barat akan diuraikan sebagai berikut:
v  Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepad Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”. Serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatera and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
v  Belanda
Selain kerajaan Inggris, pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani diperkarangan sebuah gereja. Kini dimakam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
v  Utsmaniyah Turki
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang – luntang demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal lada Sicupak dan Lada sekarung. Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan bebrapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
v  Perancis
Keraajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda mengemari benda-benda berharga. [2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darut Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khiyali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri Istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu – tetamunya.
2008 (Anonimous,Http://Wapedia.Mobi/Id/Sultan_Iskandar_Muda,)

4.      Sultan iskandar muda dengan agama Islam.
Masa iskandar muda merupakan masa kebanggaan dan kemewahan Aceh, tidak hanya dalam pengaruh dan kekuasaan tetapi juga di bidang susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan perdagangan, kedudukan sesama rakyat sipil, kedudukan rakyat terhadap pemerintahan, kedudukan sesama anggota pemerintahan.
Kemakmuran menimbulkan perkembangan budaya, hal itu dialami oleh kerajaan Aceh . dalam periode-periode keemasan itulah kebudayaan Aceh tumbuh pesat. Selain pusat penciptaan sastra, Aceh merupakan suatu tempat berkembangnya agama Islam. Perkembangan tersebut tumbuh melalui perdebatan-perdebatan pemikiran. Sejak abad ke-15 sufisme tumbuh subur di Aceh, cendikiawan dan ulama mendapatka tempat yang baik di Aceh. Para sufi terkenal di nusantara seperti Hamzah Funsari, Syam Ud-Din, Nur ud-Din ar Riniri, dan Abdul Rauf dari singkel adalah sufi-sufi yang tumbuh bersama kejayaan Aceh. Pengeruh pemikiran sufi-sufi tersebut luas pengaruhnya dalam pemikiran keIslaman di nusantara. Bahkan, Denys Lombard sangat menyakini bahwa apabila dilakukan penelitian sinkronis mengenai seluruh Asia Tenggara, maka akan terlihat hubunga timbal balik antara semua fakta yang berakaitan dengan pemikiran sufi asal Aceh. (Muhammad Mulyadi Lucky, http://lickymulyadi sejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/,)
Dalam soal ilmu pengetahuan dalam bidang agama pun, pada masa lampau, masa Sultan Iskandar Muda itu dapat di katakan sebagai kesadaran. Iskandar Muda mempunyai semangat atau spirit dan minat yang sangat besar sekali untuk mendirikan mesjid stsu rumah ibadah dan pesantren. Ia yang telah membuat mesjid Baitu-ur Rahman dan beberapa mesjid pada tiap-tiap negeri dialah yang menegakkan agama Islam di Aceh. Memerintah rakyat Aceh shalat lima waktu, puasa ramadhan dan puasa sunat serta menjauhi rakyat Aceh dari judi dan minuman yang memabukkan. Tokoh Iskandar Muda kemudian dibesar-besarkan namanya seperti menjadi dongeng. Melalui buku ini Denys Lombard menginginkan adanya penetapan garis batas yang tegas antara dongeng dan sejarah. (Muhammad Mulyadi Lucky, http://lickymulyadi sejarah.wordpress.com/2008/06/12/resensi-buku-Aceh-2/,)
Iskandar Muda telah mengadakan Perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan adat Meukuta Alam yang di sadur dan di jadikan batu dasar kemudian ketika putrinya Tadjal Alam Safiatuddin dan raja-raja seterusnya memerintah.
Penerbitan hukum yang di bangun oleh Iskandar Muda memperluas kemasyurannya sampai keluar negeri, misalnya ke India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil peraturan-peraturan hukum di Aceh itu untuk di teladani terutama karena peraturan tersebut berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama.
Di ilmu pengetahuan agama (toelogi) khususnya Islam, masa Sultan Iskandar Muda semakin terkenal. Nama-nama ulama maupun pujangga Hamzah Funsari, Syamsudin Pasai adalah nama-nama yang tidak asing lagi hingga kini.
  
Ismail Suni, 1980. Bungan Rampai Tentang Aceh, Bharat Aksara: Jakarta.

Nugroho Notosusanto, Dkk. Sejarah Nasional 2 untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Depdikbud: Jakarta.

 Ranu Usman, 2003. Sejarah Peradaban Aceh, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Sartono Kartodirjo, 2001, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900: Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama.

MAKASSAR ABAD KE VII

 Pertengahan abad XVII Gowa berada pada puncak kejayaan . dimana pada masa ituhampor seluruh daerah Indonesia bagian timur mulai pulau-pulau sangir. Talaud bagian utara, Kutai dibagian barat serta daerah Maraga(Australia) di selatan sudah mersakan pengaruh kekuasaan kerajaan Gowa. Pemerintahan kerajaan Gowa menvapai puncak terutama dibawah pemerintahan Sultan Maliknessaid, dengan adanya puncak kekuasaan inilah menyebabkan Makassar menjadi benteng pertahanan Indonesia bagian timur tidak lain adalah dikarenakan letak alamnya yang strategis dan sekaligus sebagai penopang perekonomian Indonesia pada saat itu. Bukan hanya itu, Makassar pada abad XVII sudah memiliki kekuatan armada yang cukup tangguh . tentang kehebatan armada kerajaan Gowa dikatakan apabila kerajaan Gowa berperang maka samudra menjadi penuh oleh kapal atau juga yang dating dalam jumlah ratusan buah bahkan ada kalanya ribuan. Makassar sebelum menjadi badan niaga orang-orang sangat gemar mengunjungi lautan dengan menggunakan perahu-perahu layar mereka yang besar di sebut “PENISI “. Dengan perahu-perahu layar inilah mereka mengarungi lautan sambil melakukan ekspansi kekuasaan hingga akhirnya Makassar menjadi Bandar niaga yang diperhitungkan di nuansa bahkan dibelahan dunia. (Sutherland Heather 2004 : 1)
                Ketaatann armada ini dibentuk untuk me,pertahankankekuasaan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan seperti halnya kerajaan Gow. Ditambah lagi daerah Sulawesi Selatan memiliki pelabuhan yang menghubungkan kearah Asia dengan Eropa.
Kebanyakan alam yang meliputi menyebabkan daya tarik bagi bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai Makassar misalnya melalui penaklukan kerajaan, menguasai perdagangan mengurus hasil alam rakyat Makassar, dan masih banyak contoh-contoh yang dilakukan oleh bangsa Eropa untuk menguasai daerah Makassar. Dengan keadaan inilah menyebabkan pertahanan orang-orang dengan masyarakat Makassar, terutama bangsa bangsa Belanda yang mendirikan kongsi dagang yang dibri nama VOC.
Tindakan yang dilakukan oleh orang Eropa khususnya bangsa Belanda yang justru hanya menguntungkan dipihak Belanda. Maka mau tidak mau peperangan harus terjadi berawal dari komflik-komflik kecil hingga mencapai puncak perang ketika Sultan Hasanuddin naik tahta menjadi Raja di Kerajaan Gowa. Perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hasanuddin ternyata tidak dianggap ramah oleh bangsa Erop, bermodalkan semangat dan dukungan dari rakyat Makassar, Sultan Hasanuddin terus melakukan perlawanan, walau pada akhirnya kekuasan dipihak mereka dan diakhiri perjanjian bangsa yang menyebabkan jatuhnay Makassar ketangan VOC.
  
  1. Perumbuhan dan Perkembangan Makassar Pada Abad  Ke VII
Telah diuraikan diatas bahwa pada abad ke XVII Makassar berada pada puncak kejayaan khususnya pada kekuasaan kerajaan Gowa. Ketika itu adalah sabagai pusat kekuasaan di Sulawesi Selatan dan sekaligus pusat perdagangan dinusantara pada bagian utara. Hal itu bisa kita lihat pada masa kekuasaan To’ Maparissi yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya I Mandriogau Daeng Boata Karaeng Lakiung (1547-1565) yang setelah mangkat digelari Karaeng Tu’mpalangga Ulaweng. (Edward L. Polinggomang, 2004 : 33).
Terhadap kerajaan-kerajaan yang ditaklukan, Karaeng Tu’mapalangga Ulaweng mewajibkan raja-raja itu menyatakan ikrar tunduk dan patuh kepada kerajaan Gowa-Makka-Mama mumamuni-yo : Aku bertitah (dan) aku mematuhi serta membawa bangsawan-bangsawan yang ditaklukan bersama keluarga mereka dan penduduknya untuk menetap di Gowa. Kerajaan yang dihulu oleh Tu’mpalangga Ulaweng, saluran darah yang berada dibagian selatan Sulawesi selatan dikatakan telah tunduk dan petuh dibawa pemerintahan kerajaan Gowa. (Edwarld L. Polinggomang 2004 : 25)
                Disamping usaha perluasan wilayah dan pengaruh kerajaan untuk mencapai keunggulan kekuasaan, kerajaan Gowa mengembangkan pula usaha-usaha dibidang pelayanan dan perdagangan. Menempatkan kota Makassar sebagai badan niaga dari lalulintas perdagangan rempah-rempah antara Maluku dan Malaka. (Edward L Polinggomang, 2004 : 29)
                Kemajuan yang pesat yang dialami oleh Makassar dibidang perdagangan ini dimingkinkan pula oleh jatuhnya Malaka ketangan Portugis pada tahun 1911. Kejatuhan Malaka melapangkan peluang bagi pegembangan kedudukan pelabuhan Makassar menjadi pelabuhan singgahan dan Bandar niaga yang ramai pada jalur perdagangan bagian selatan lewat kota-kota pelabuhan di pantai uatara jawa dikuasai oleh perseroan Hindia timur yang berusaha untukmenguasai sendiri pelayanan dan perdagangan rempah-rempah di nusantara. Keunggukan kekuasaan dan keterlibatan kerajaan Gowa dalam bidang perdagangan menempatkan kerajaan Gowa sebagai satu kekuatan yang kuat dari saingan yangbesar dalam percaturan perdagangan pada waktu itu. (Edward L, Polinggomang, 2004 ; 31)
  1. Kekuasaan Makassar Berhadapan Dengan VOC
Telah dijelaskan diatas pada permulaan abad XVII Makassar telah merupakan Bandar niaga yang terpenting. (Edward L. Polinggomang, 2004 : 31)
                Ketenaran Makassar dalam dunia perdagangan telah mempengaruhi armada dengan dagang Belanda untuk menjalin hubungan dengan dagang kerajaan Gowa. Kedudukan ini didorong oleh kedudukan Makassar sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Adanya berita bahwa orang-orang Portugis, Inggris, Denmark  dan Prancis membeli bunga pala di Makassar dengan harga yang lebih murah dibandingkan yang dibeli armada dengan Belabda. (Edward L, Polinggomang, 2004 : 32-33)
                Percaturan perdagangan pada masa itu diungkapkan dalam berbagai tulisan, khususnya berbagai kegiatan persaingan antara armada dengan kerajaan Makassar dan Belanda, tidak jarang terjadi pertikaian, perselisihan, bahkan peperangan antar mereka. Sebab utama yang sering dinyatakan adalah keinginan pelaut untuk pedagang Belanda (pada tahun 1602 membentuk perkumpulan perseroan Hindia Timur Verenigde Van Bet Oust_Indiseha Compagie disingkat VOC) menguasai sendiri (monopoli) pelayaran perdagangan di nusantara. Dalam beberapa perang kecil yang terjadi, pihak Voc selalu menuntut agar raja melarang pelaut dan pedagang dari negerinya melakukan pekayaran dan perdagangan di Maluku, sebagai syarat dicapainya perjanjian perdamaian untuk mengakhiri peperangan.
  1. Politik Devide of Impera dari Belanda
Ketika kerajaan Bone dikuasai atau berada dibawa kekuasaan kerajaan Gowa, banyak orang-orang Bone yang tersiksa dan menderita. Dengan ketertindasan itu maka tampillah seorang pemimpin Ia Tenritala yang lebih dikenal dengan nama julukan Arung Palaka. (Anonimous 1978). Tiga tahun lamanya, Arung Palaka bersama keluarga dekatnya tinggal di Butan dibawa perlindunagn Sultan Buton pada tahun 1663 barulah Arung Palaka dan kawan-kawannya yang setia meninggalkan Buton, maka berangkat dengan naik kapal Belanda menuju Batavia untuk meminta bantuan kepada VOC untuk menyerang kerajaan Gowa dan membebaskan negeri serta pasukan-pasukan yang terdiri dari kura lebih 400 orang bugis, sebagian besar dari Bone dan Soppeng. Kedatangan Arung Palaka dan pengikut pengikut-pengikutnya disambut dengan gembira oleh pihak VOC. Belanda yang sudah sangat lama menantikan senjata ampuh yaitu “Devide of Impera (pecah dan jajalah)” memang sudah lama mencari kawan atau tokoh untuk bersama-sama menyerang kerajaan Gowa. Jadi, kedatangan Arung Palaka dan kawan-kawannya “bagaikan pucuk di cinta ulang tiba” bagi Voc.
  1. Jatuhnya Makassar 1668 Dengan Perjanjian Bongaya
Berdasarkan perjanjian Bongaya daerah-daerah yang diduduki oleh pasukan VOC pada waktu perang Makassar dinyatakan berada pada dibawa kekuasaannya. Dengan demikian kerajaan Mkassar kehilangan sebagian besar bahkan hamper seluruhnya, daerah yang pernah mengakui dan berada dibawa kekuasaannya. Disamping itu beberapa konfederasi yang sebelum perang Makassar tidak dibawa kekuasaan kerajaan Makassar dinyatakan kembali berdiri sendiri, bebas dan berdaulat tetapi berkedudukan sebagai kerajaan pinjaman dari kerajaan Bone, seperti konfederasi bangkala, binam dan laikang. Kerajaan Gowa kehilangan hanya sebagian kecil wilayah, yaitu daerah sekitar Makassar yang terletak pada posisi barat jazirah selatan pulau Sulawesi. Jika diperhatikan pengaturan wilayah berdasarkan perjanjian Bongaya, maka jelas bahwa wilayahyang dinyatakan berada dibawa kekuasaan VOC adalah daerah-daerah yang mengelilingi wilayah kerajaan Makassar dan sebagai pagar batas kerajaan itu. Walaupun demikian pada kenyataannya daerah-daerah yang berada dibawakekuasaan langsung itu tetapberada dibawa kekuasaan penguasa penguasa setempat. Pengaruh langsung dari kompeni hanya terwujud dalam daerah Makassar., yang merupakan Bandar niaga pada waktu itu. Hal ini mungkin disebabkan kompeni hanya bertujuan menguasai kegiatan pelayaran dan perdagangan maritime. Daerah-daerah yang dinyatakan sebagai daerah kekuasaan langsung hanya sekedar mendapat pengakuan keunggulan itulah sebabnya keterlibatannya dalam pelaksanaan kekuasaan tidak pernah terlaksana didaerah-daerah yang dinyatakan sebagai daerah kekuasaannya berdasarkan perjanjaian. Campur tangan dalam urusan inilah yang sering merupakan sebab munculnya sikap perlawanan penguasa local. (Edward L. Polinggomang 2004: 34)
Campur tangan kompeni terhadap pelaksanaan kekuasaan dan pemerintah tidak pernah terlaksana. Hubungan kekuasaan hanya terjadi antara penguasa setempat dan pejabat kompeni yang berada di Makassar. Pelaksanan kekuasan dan pemerintah pada kenyataannya tetap berada dibawa penguasa setempat dan dilakukan sesuai dengan kebiasaan setempat. Masa kekuasaan kompeni ini berlangsung lama, yaitu berawal dicapainya perjanjian Bongaya (1669) hingga akhir abad (Desmber 1799) hanya dibuktikan oleh perjanjian-perjanjian sehingga dapat dikatakan masa “perjanjian kekuasaan”. (Edward L. Polinggomang 2004 : 36)
Pada permulaan abad ke -19 kedudukan kompeni diganti oleh pemerintah Hindia Belanda. Daerah-daerah yang berdasarkan perjanjian dinyatakan bahwa kekuasaan kompeni ini beralih dibawa kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Sebelum pemerintah setempat menata daerah-daerah yang diambil alih itu. Daerah-daerah itu direbut oleh Inggris pada tahun 1811. (Edward L. Polinggomang, 2004 : 39)
Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda kembali ke Sulawesi Selatan untuk mengambil alih kekuasaan, ia diperhadapkan dengan sikap kerajaan Bone yang menolak dan menentang kehadirannya. Disamping itu juga diperhadapkan dengan sikap dari beberapa daerah bekas kekuasaannya yang menolakkehadiran kembali pemerintahan Hindia Belanda, seperti kerajaan Gowa, Soppeng, Agangniojo, dan konfederasi Bangkala, Binamu dan Laikang. Walaupun demikian pemerintah Hindia Bealanda berhasil kembali dapat menguasai daerah itu, bukan hanya kekuatan senjata tetapi juga taktik yang digunakan untuk memikat beberapa daerah untuk turut memperkuat pasukannya dalam menghadapi lawan-lawannya. Taktik ini berakibat pemerintah Hindia Belanda harus bersediah memulihkan kedudukan dari beberapa daerah dari kedudukannya sebagai kerajaan pinjaman menjadi daerah yang berdiri sendiri dan berkedudukan sebagai kerajaan sekutu dari pemerintah Hindia Belanda, seperti konfederasi Bangkala, Binamu dan Laikang. (Edward L. Polinggomang 2004 : 40)
Pada tanggal 18 Oktober 1905 kerajaan Gowa diserang oleh pasukan penduduk Sulawesi Selatan (Zuid Clabes Expeditie). Pada penyerangan ini, pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil menangkap dan mendesak raja Gowa agar menerima dan mengakui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda . karena raja Gowa oleh penbesar-pembesar kerajaan diusingkan ke Barru dan selanjutnya di Sidenreng. Itulah sebabnya pasukan Belanda yang berusaha mengejar dan menangkapnya tidak pernah berhasil, setelah diketahui bahwa ia tidak berada lagi diwilayah kekuasaannya, kerajaan Gowa dinyatakan telah dikuasai, akhirnya Gubernur Krosen mendesak dan memaksa Tu’mailalang Gowa dan anggota Dewan Bate Salapang untuk menerima dan bersediahmenandatangani pernyataan penduduk yang disodorkan pada 18 Desember 1905. (Edward L. Polinggomang 2004 ; 48-49)
               
Powlinggomang, L. Edward, 204, Perubahan Politik dan Hubunagn Kekuasaan Makassar 1906-1942, Yogyakarta : Ombak
Sutherland heather, 2004, Kontinuitas dan Perubahan Dalam sejarah, Yogyakarta : Ombak

GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA

    A.   GERAKAN RATU ADIL

           1.     Gerakan-Gerakan Keagamaan Di Jawa
Fenomena Ratu Adil agaknya tidak akan mungkin dibatasi oleh kurun waktu (temporal) dan wilayah (spasial) tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran tentang Ratu Adil merupakan ajaran yang secara kodrati melekat pada sistem kepercayaan masyarakat manapun dan dimanapun. Ini berarti pula bahwa pada hakekatnya Ratu Adil adalah sebuah ideologi. Hanya saja, istilah-istilah, model dan motif gerakan, serta ciri-cirinya akan berbeda-beda.    
Sebagai sebuah ideologi, maka faham Ratu Adil (millenarianisme) atau juru selamat (mesianisme) dalam gerakan-gerakan keagamaan tidak mengalami kekurangan perhatian, dan mengenai hal ini terdapat sejumlah studi baik bersifat tekstual ataupun filologis. Dalam kebanyakan studi bentuk-bentuk ideologi  dianggap sebagai inti penelitian. Tekanan lebih berat diletakan pada struktur-struktur ajaran Ratu Adil juru selamat dari pada pola-pola gerakan keagamaan. Perlu dijelaskan bahwa gerakan-gerakan keagamaan di jawa ini, terutama dilihat sebagai manifestasi dari gejala yang banyak diselidiki, yaitu mistisisme atau sufisme.
( Sartono Kartodirdjo, I992:9 )
Faham Ratu Adil merupakan ancaman yang sangat potensial bagi rezim kolonial. Sementara di pihak lain, terdorong oleh ketakutan pemerintahkolonial terhadap kekuatan-kekuatan spiritual  (islamofobi) dan sesuai pula dengan politik devide at impera maka gerakan-gerakan tadi disamakan dengan gerakan revolusioner atau gerakan anti asing yang harus diberantas secara tuntas.


Gerakan-gerakan keagamaan yang kita bicarakan ini telah diberi nama dengan berbagai cara, yaitu gerakan juru selamat (mesianisme), Ratu Adil (milenarianisme), pribumi (nativisme), kenabian (prophetisme), penghidupan kembali ( ravitalisasi ). Istilah gerakan-gerakan keagamaan ini tidak selalu di gunakan melalui tingkat kaca mata yang sama atau melalui tingkat ketajaman konsepsi yang tinggi. Banyak gerakan sosial, termasuk kerusuhan, pemberontakan, sektarisme, dapat diklasifikasikan sebagai gerakan keagamaan, karena gejala-gejala tersebut pada umumnya cenderung berhubungan dengan gerakan-gerakan yang di ilhami oleh agama atau menggunakan cara-cara agama untuk mewujudkan tujuan-tujuan gaib mereka. Kebanyakan pergolakan tersebut cenderung mempunyai segi-segi yang bercorak keagamaam. Studi tentang gerakan-gerakan tentang keagamaan selama zaman kolonial dapat memanfaatkan sumber-sumber materi yang cukup dan di peroleh dari pejabat kolonial yang diserahi tugas, untuk mengurus pergolakan-pergolakan yang ada. Karena alasan-alasan yang jelas banyak perhatian dipusatkan pada gerakan-gerakan yang bersifat dramatis, gerakan-gerakan yang bercorak Ratu Adil merupakan ancaman yang sangat potensial bagi setiap kekuatan Rezim kolonial. ( Sartono Kartodirdjo,1992:10 )
Kecenderungan gerakan-gerakan keagamaan yang berkaitan dengan perubahan sosial telah sering di lihat, dan atas kecenderungan telah di ambil general isasi bahwa sumber-sumber yang datang dari luar merupakan dorongan yang utama bagi gerakan-gerakan keagamaan. Apa yang berulang kali kita hadapi adalah penindasan yang sudah tidak lazim terlalu kuat yaitu tentang pengaruh Barat. Dalam hal ini memang perlu diakui bahwa hal-hal yang bertalian dengan masyarakat yang tradisional dan zaman sebelum adanya kontak dengan barat, tidak banyak terdengar tentang kasus mengenai gerakan keagamaan. Ini terutama karena tidak adanya bahan-bahan dokumentasi. Tetapi kita sering menjumpai peninggalan-peninggalan lain yang menunjukan bahwa gerakan-gerakan keagamaan yang berwatak Revitalistic atau Milenarian yang serupa pernah terjadi. ( Sartono Kartodirdjo,1992:12 )
Unsur pokok dari gerakan keagamaan adalah seorang pemimpin gerakan keagamaan yang merupakan seorang prophet atau guru, dukun, tukang sihir, atau utusan Mesias. Pemimpin-pemimpin mengaku di ilhami oleh wahyu. Sebuah contoh yang baik adalah kasus Tambakmerang yang terjadi pada tahun 1935, di sini orang yang bernama Wira Senjaya menerima wahyunya setelah menjalani puasa selama 40 hari. Setelah menerima wahyu, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran, kemudian ia mulai menjalankan peranan sebagai mesias yang sedikit banyak di berikan oleh para pengikutnya kepadanya. Dalam kasus peristiwa Sarandakan dalam tahun 1924, seorang bernama Kramaseja mengaku sebagai penjelmaan Ratu Adil, sedangkan dalam peristiwa Tegalreja tahun 1889, seorang bernama Dulmajid bertindak selaku pendahulu Ratu Adil yang peranannya dilakukan oleh Pangeran Suryangalaga dari Yokyakarta, selain itu harus menyebutkan kasus nanggulan dalam tahun 1878, disini Sukadrana memainkan peranan sebagai Ratu Adil sebagaimana akan kita lihat seperti halnya dengan Wirasenjaya dari tambakmerang, Nyi Acia dari Malangbong harus berfungsi sebagai pusat gerakan yang bersifat simbolis, ia menjalakan peranan yang di berikan kepadanya oleh para pengikutnya. Kepemimpinan Nyi Acia itu sebenarnya tidak penting dan pengangkatannya untuk menempati kedudukan semacam itu tampaknya bersifat kebetulan. ( Sartono Kartodirdjo,1992:12 )
Sudah di ketahui secara umum bahwa dalam alam kebudayaan Jawa, harapan-harapan Milenarian yang tersembunyi sangat mendorong ke arah munculnya tokoh-tokoh Propehtik. Mereka itu kebanyakan adalah orang-orang terkenal sebagai ilmu, kiai, atau orang suci yang pada umumnya memiliki daya karisma. Elite keagamaan ini dapat mengutarakan dengan kata-kata harapan-harapan rakyat biasa, karena mereka kebanyakan merupakan pewaris dari tradisi-tradisi lisan atau tertulis, yang mereka lakukan adalah mengajukan teknik agama untuk mempercepat mengadakan selamatan, upacara - upacara agama - mistik lainnya, membagi - bagikan jimat, melakukan puasa, dan lain sebagainya. ( Sartono Kartodirdjo,1992:14 )
Kekuatan gaib para pemimpin agama ini terutama didasarkan pada pembawaan karisma yang mereka miliki, yang idenya pada umumnya ada dalam masyarakat Indonesia, dan secara umum dinamakan sebagai keramat, wahyu atau sakti. Dari alam kebudayaan Jawa ternyata bahwa unsur - unsur millenium sudah ada sebelum adanya dampak dari barat, mitos - mitos Hindu Jawa dan kepercayaan Erucakra rasanya dapat menunjukan bahwa harapan - harapan millenium itu sejak dulu telah ada masa kekuasaan Erucakra dihubungkan dengan millenium. Sebagaimana telah kita lihat berulang kali, para pemimpin gerakan-gerakan millenaristis atau gerakan-gerakan politik yang memiliki nada-nada millenium memakai nama Erucakra tidak perlu lagi dikatakan lagi, gerakan-gerakan semacam itu dengan cepat membuat para pejabat yang gelisah untuk memukul mereka sebenarnya, pandangan milenarian itu menimbulkan rasa dorongan yang mendesak di dalam gerakan dan pandangan itu menceburkan gerakan ke dalam demam kegiatan memberontak. Di samping itu perlu dicatat bahwa ramalan-ramalan tentang millenium sering berisi pula dengan unsur-unsur mengenai perubahan-perubahan yang telah terjadi sebagai akibat masuknya kekuasaan barat, seperti rasa permusuhan antara sesama bangsa. Diubahnya orang-orang Islam menjadi kafir, terpengaruhnya pejabat-pejabat keagamaan oleh orang-orang tak beriman, hilangnya rasa hormat kepada raja di mata rakyat biasa. Perubahan-perubahan ini dikatakan sebagai sumber dari gangguan-gangguan sosial. Tak mengherankan apabila orang membayangkan kembalinya masa lampau yang indah yang dapat di percepat oleh gerakan. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:15 )
Disinilah sistem kepercayaan menampakkan peran yang sangat besar dalam memotivasi suatu gerakan. Ide-Ide tentang perang suci secara luar biasa mendorong militansi dikalangan pemeluk agama (Islam), sehingga mereka dengan sukarela menyerang orang kafir dan semua situasi dan kondisi yang diciptakan oleh orang asing. Meskipun demikian, untuk dapat mengerti arti yang sebenarnya tentang gerakan keagamaan di Jawa, haruslah diperhatikan aspek nativistic mereka. Aspek ini menjanjikan datangnya bumi pertiwi yang telah pulih, tidak akan ada orang kulit putih, serta akan diperintah oleh dinasti lama.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gerakan-gerakan keagamaan pada umumnya menyandang watak reaksi total yaitu menolak kehadiran Eropa. Dengan demikian, milenarianisme pada asasnya berwatak revolusioner karena berkaitan dengan perombakan status quo secara total. Adapun alat yang dipakai sebagai dasar gerakan tersebut adalah agama, jadi sifatnya religius.

2.     Dimensi Politik Radikalisme Agraria Di Jawa
Seiring dengan perkembangan kondisi-kondisi sosial politik, maka terjadi pula perubahan sifat dan pola ideologi dalam gerakan-gerakan pedesaan. Salah satu bentuk gerakan politik di desa adalah mobilitas kaum tani yang merupakan ungkapan paling baru dan dramatis dari keresahan agraria yang terjadi terus-menerus. Jika pada masa-masa silam gerakan-gerakan sosial mengandung sifat religius dan bertujuan melenyapkan orang asing dengan segala akibat yang ditimbulkannya, maka gerakan sosial pada akhir abad 19 dan abad 20 lebih dilatarbelakangi oleh keadaan-keadaan keagrariaan yang dirasakan tidak adil. Jadi disini sifat ekonomis dan politis lebih menonjol dibanding sifat religius yang sekedar sebagai pelengkap atau sebagai alat legitimasi.
Oleh karena itu penalaran pemahaman antara kedua gerakan tersebut juga berlainan. Untuk memahami proses politik pada tingkat desa, konsep radikalisme harus disesuaikan dengan latar belakang masyarakat tani. Analisis tentang radikalisme agraria harus memperhitungkan susunan dan hirarki nilai-nilai pedesaan, karakteristik lambang-lambang, serta tujuan dan pola-pola tindakan dari politik agraria tersebut.
Radikalisme agraria menurut Sartono Kartodirdjo adalah gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku, dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak istimewa atau yang berkuasa, dimana gerakan ini menarik pengikutnya dari kaum tani. Dan perlu ditekankan disini bahwa radikalisme agraria merupakan bagian dari gerakan ratu adil yang bersifat revolusioner.
Dalam mengungkapkan sebab-sebab gerakan ratu adil, kita akan menemui kesulitan ibarat sulitnya mencari ketulusan penjajahan. Kesulitan itu terjadi karena adanya kecenderungan untuk menerangkannya dari kolonialisme serta menghubungkannya dengan proses modernisasi. Akan tetapi fokus yang paling sering dikemukakan adalah akibat utama dari dominasi Barat, yaitu kehancuran sistem ekonomi politik tradisional dan terjadinya disintegrasi kebudayaan.
Diketahui bahwa identitas budaya kaum tani terikat secara tidak terpisahkan dengan agama mereka, sehingga mereka akan cenderung mempertahankan identitas tersebut apabila diancam oleh nilai-nilai asing. Oleh karenanya, radikalisme agraria harus pula dianalisis didalam sorotan persaingan untuk memperoleh kesetiaan kaum tani. Stratifikasi sosial masyarakat pedesaan pada masa-masa pra dan pasca kemerdekaan pada umumnya ditentukan oleh pemilikan tanah, disamping oleh jabatan keagamaan. Stratifikasi ini terdiri dari 2 (dua) golongan besar yaitu kaum bangsawan atau tuan tanah, dan kaum buruh tani.
Pada masa kolonial, para bangsawan yang biasanya kurang taat agamanya dibandingkan kaum tani dan santri, banyak diangkat sebagai pejabat sipil. Hal ini oleh pemerintah Belanda dimaksudkan untuk memecah belah atau memperhebat antagonisme antara elit priyayi abangan (para birokrat tradisional) dengan masyarakat desa (santri atau kaputihari) yang dianggap berbahaya bagi hegemoni jajahan. Dengan demikian diskriminasi yang dilakukan Belanda ini akan mengakibatkan kaum tani yang dahulu mendukung para bangsawan (pelajari tentang konsep manunggaling kawula-gusti) berbalik memusuhi mereka. Dari sini terlihat betapa politik devide et impera begitu jahatnya menciptakan permusuhan antar penduduk pribumi. Dan inilah yang merupakan salah satu alasan timbulnya radikalisme dikalangan wong cilik atau kawula alit.
Mengenai ciri-ciri khusus radikalisme agraria, tidaklah mungkin dikategorikan kedalam pemberontakan kaum tani secara definitif dan semata-mata bersifat ratu adil, juru selamat, pribumi atau perang suci. Ini berarti bahwa dalam setiap gerakan tercakup corak-corak milenarianisme, mesianisme, nativisme dan kepercayaan kepada perang salib.
Dari penjelasan diatas, secara tersirat telah terkandung 3 (tiga) kelompok manifestasi dalam radikalisme agraria. Kelompok pertama mencakup pergolakan pergolakan agraria yang memuat ketidakpuasan sosial ekonomi lokal sehingga ideologi menjadi sangat penting. Contoh kelompok ini adalah pemberontakan Bekasi tahun 1869. Dalam kelompok kedua, terjadi protes yang digeneralisasikan dari kekerasan ekonomi khusus menjadi kritik yang lebih luas mengenai kemerosotan budaya dan moral. Salah satu contoh adalah peristiwa Hajji Rifangi di Kalisasak tahun 1870-an. Adapun kelompok ketiga memperlihatkan perkembangan tipe protes keagrariaan yang lebih berbau politik, dengan pengertian bahwa keluhan-keluhan petani dan merosotnya nilai budaya memberikan petunjuk untuk memanfaatkan rangkaian tradisi gerakan ratu adil, kepribumian dan perang suci sebagai titik tolak ideologi perlawanan mereka. Contoh gerakan protes yang lebih bersifat politis ini adalah peristiwa Kiai Nurhakim dan peristiwa Cimareme tahun 1919 yang dipimpin oleh Haji Hasan. http://id.wikipedia.org/wiki/Angkatan_Perang_Ratu_Adil
Pada masa-masa setelah kemerdekaan, gerakan-gerakan tersebut dapat dibagi kedalam 2 (dua) golongan. Yang pertama merupakan gerakan sosial yang mewakili suatu penolakan lengkap dari apa yang secara konvensional dipandang sebagai politik. Gerakan ini percaya bahwa perubahan secara mendasar dalam suatu peristiwa hanya dapat terjadi melalui bentuk kebangkitan kembali keagamaan, baik kebangkitan kembali Islam radikal atau nilai-nilai dan adat istiadat abangan. Contoh gerakan ini misalnya gerakan Hidup Betul dan Agama Adam Makrifat yang didirikan oleh Rama Resi Pran-Suh Sastrasuwignya. Adapun golongan kedua mencakup gerakan sosial yang mempunyai watak politik tinggi dan revolusioner. Sebagai contoh dapat ditunjuk misalnya gerakan Embah Sura di Ngingil dan gerakan Semana di Loano,Purworejo.
Peristiwa-peristiwa yang beberapa tahun ini memperlihatkan, bahwa penduduk desa lambat dalam proses politik dan barang tentu bahwa persaingan politik di desa tidaklah seintensif sebagai mana telah terjadi di kota-kota. Sekalipun demikian, contoh-contoh mobilisasi politik kaum tani ini hanyalah merupakan ungkapan-ungkapan paling baru dan dramatis dari pada keresahan agraria yang terus menerus terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Dari arsip-arsip pemerintahan Hindia Belanda dan surat-surat kabar serta majalah selama zaman kolonial kita ketahui adanya bentrokan-bentrokan yang berulang-ulang antara kaum tani dan pemerintah jajahan. Secara keseluruhan sumber-sumber ini menjelaskan bahwa para penguasa kolonial dihadapkan pada ketidakpuasan yang tersebar luas dan berakar dalam masyarakat desa. Pemberontakan-pemberontakan agraria yang terpencar-pencar selama dua abad yang lalu, apapun tujuan yang meraka nyatakan, semuanya mengungkapkan suatu protes mendasar terhadap keadaan hidup yang tengah berlangsung di pedesaan. (Sartono Kartodirdjo, 1992:3 7)

3. Peristiwa Tradisional
a.   Desa dan Sistim Sosialnva
Karena gerakan-gerakan Ratu Adil di Jawa merupakan suatu gejala pedesaan yang tumbuh dengan subur, maka tiap pembicaraannya hendaknya di mulai dengan suatu analisis internal tentang struktur masyarakat desa serta tempatnya di dalam kerangka masyarakat tradisional. Satuan dasar politik masyarakat desa di Jawa adalah desa (dukuh) yang tradisi atas kelompok rumah-rumah yang relatif besar beserta kebun-kebun yang ada disekitarnya. Di dalam desa, kehidupan ekonomi dan sosial berpusat di sekitar batih (keluarga inti) sekalipun suatu sistim kekerabatan dua pihak yang diperluas masih tetap memainkan fungsi-fungsi peninggalan yang penting. Sebagai suatu masyarakat kecil, hubungan dengan sesamanya yang tertutup dan kerap kali terpencil, Desa sangat berkepentingan didalam mempertahankan keserasian internal dan kerjasama yang baik. Kepentingan ini diungkapkan di dalam sistim sosial Desa oleh seperangkat kewajiban yang diformalkan secara konsentrasi yang di bebankan kepada setiap petani, kepada kerabatnya, kepada  tetangga-tetangga   dan   rekan-rekan   sedesanya.   (Sartono Kartodirdjo, 1992:41 )
Seperti dalam masyarakat agraria lain, tanah milik adalah merupakan penentu status yang utama untuk membagi-bagikan tanggung jawab masyarakat yang sesuai dengan status tersebut. Di dalam hirarki status, kita dapati berbagai kelas petani pemilik (kuli kenceng), penyewa tanah (kuli karang kopek atau kuli ngindung), dan buruh tani atau pekerja upah (kuli ngidung tlosor, manumpung atau bujang). Stratifikasi sosial juga didasarkan pada lamanya bermukim di desa dengan status tertinggi dikaruniakan kepada keturunan-keturunan pembangun desa, cikal bakal. Namun, status dan peranan keluarga-keluarga yang telah lama menetap (sikep ngarep) dapat dibedakan dengan nyata dari mereka yang baru saja datang (sikep buri). ( Sartono Kartodirdjo, 1992:41 )

b.  Jaringan Ilmu Sihir dan Agama
Kebudayaan tradisional Jawa diliputi oleh suatu keyakinan yang kuat akan hal-hal yang gaib. Kehidupan manusia berwujud di dalam suatu yang berkaitan dengan waktu kudus dan ruang kudus. Hidup itu dilingkupi makhluk halus serta didominasi oleh pemujaan -pemujaan dan upacara upacara keagamaan. Sekumpulan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat keagamaan dan kekuatan gaib yang sama-sama di anut oleh sang tuan dan sipetani, melengkapi seluruh masyarakat dengan sebuah kerangka lambang-lambang kaidah-kaidah dan nilai. Kendatipun ada kerangka ini, masyarakat desa dengan kaum priyai tradisional jawa mengembangkan ragam-ragam baru atas acuan dasar sesuai dengan lingkungan ekologinya masing-masing dan tingkat-tingkat pengalaman duniawinya. Apabila elite cenderung untuk menciptakn sejenis individualisme kebatinan gaib yang berorientasi kepada kekuasaan, maka kaum petani dipengaruhi oleh kekuatan gaib dan ramalan-ramalan Ratu Adil. Jadi tertariknya kaum tani kepada kepercayaan-kepercayaan gaib dan Ratu Adil pada dasarnya bersumber pada kesadaran penuh atas keadaan-keadaan sendiri. Dalam meneliti perkembangan gerakan sosial khususnya di Jawa, seorang tidak hampir menemukan praktek yang pada hakikatnya bersifat kepercayaan kepada jimat. Kepada para peserta gerakan sosial yang bersifat pemberontak, yang menghadapi penindasan dengan kekerasan dari pihak pemerintah, pemujaan jimat memberikan perlindungan rohani dan mendorong keberanian yang semakin besar. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:42-43 )

c. Petani dan Bangsawan dalam Masyarakat Jawa Tradisional
Hubungan antara kaum tani dan kaum elite mengandung unsur-unsur pertentangan yang hebat dari prasetia dan keterasingan (alienasi). Senantiasa ada jurang pemisah ekonomi dan sosial antara bangsawan dan kaum tani, tetapi mereka disatukan oleh berbagai pranata (institusi), politik dan budaya. Hubungan institusi yang terkuat dalam masyarakat Jawa tradisional adalah anak semang (Jawa Swita), suatu sistim hubungan-hubungan klien yang meluas keseluruh masyarakat dari atas sampai kebawah. Akibat pranata ini adalah suatu pertukaran jasa-jasa yang tidak simetris dengan si klien menyediakan produksi atau tenaga kerja sebagai imbalan bagi perlindungan jasmani mereka, peluang-peluang kemajuan dan status yang meningkat. Desa-desa menyediakan landasan produktif bagi negara dan yang dilindungi, setidak-tidaknya menurut teorinya, oleh si penguasa. Jasa-jasa pribadi (Caos), kepada istana (Kraton), dilaksanakan atas dasar saling hubungan klien. Kewajiban-kewajiban militer pun sering di golongkan di bawah Rubrik ini sistem ke klienan tidak terbatas kepada istana raja, melainkan di perluas sampai kepada hirarki birokratik. (Sartono Kartodirdjo, 1992:47 )
Pada umumnya, kepribadian dan ciri khusus Hirarki sosial politik, tidak mampu lagi menolong untuk mencegah dikotomi yang terlalu kaku dan menonjol antar elite kiyai yang memerintah dan landasan mashabnya. Hubungan klien adalah merupakan suatu yang di anggap elastis yang memperkenankan suatu pengarahan keluarga kaum tani untuk memasuki sekurang-kurangnya golongan elit setempat, sistem klien menyuguhkan suatu konsepsi tentang negara yang memadukan suatu tertib hirarki yang kukuh dengan kemungkinan-kemungkinan mobilitas yang cukup kuat dan perubahan di dalamnya. Sistem itupun mencegah suatu perbedaan budaya yang terlalu tajam antara kaum elite dengan masa dimana klien pada tiap tahap mengambil perlindungannya sebagai model budayanya dan sesuai dengan itu, suatu acuan umum dan nilai-nilai cenderung untuk tersebar keseluruh masyarakat di dalam kerangka kebudayaan abangan yang lebih luas. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:48)

4. Perlawanan dan Pertikaian di dalam Proses Perubahan Sosial-Kultural
Sekali pun dampak kekuasaan Belanda atas masyarakat jawa tidak di rasakan sekaligus sepenuhnya di dalam segala kepentingannya, sejak awal permulaannya pada abad ke-17 dampak itu telah menggerakkan perubahan politik yang mendasar serta tidak dapat berulang kembali Kompeni Hindia Timur mencita-citakan suatu yang relatif praktis tetapi berhubungan erat dengan elite-elite jawa setempat yang telah jatuh di bawah pengawasannya. Selama menjunjung tinggi prinsip campur tangan millenium, kompeni mempekerjakan kelompok-kelompok bangsawan ini sebagai mata rantai perantara yang menentukan di dalam mengembangkan struktur pemerintahan tak langsung. Dengan adanya struktur Hirarki masyarakat jawa, maka kekuasaan tertinggi merupakan suatu alat yang potensial untuk memeras hasil-hasil bumi dan jasa-jasa para petani. (Sartono Kartodirdjo,1992:50)
Sebagai suatu konsekuensi timbullah pergeseran secara perlahan-lahan dari warisan tradisional kepola-pola rasional yang legal. Pertumbuhan suatu kumpulan aturan-aturan hukum yang membatasi berkembangnya fungsi-fungsi bupati yang semakin terperinci hanyalah merupakan awal dari suatu proses birokratisasi yang mendalam berlangsung sepanjang abad itu. Suatu langkah penting di dalam perkembangan ini adalah perbedaan dan pemisahan sebagai kekuatan ekonomi dari kekuatan politik. Di bawah pengaruh Barat berikut proses sekularisasinya peranan baru yang di paksakan dari luar cenderung menggantikan peranan-peranan para Bupati yang tradisional dan bawahan mereka. Diperkenalkannya suatu aturan prestise baru di kalangan elite birokratis kiyai yang didasarkan kriteria barat, berturut-turut meregangkan urat-urat nadi pranata budaya politik dan menciptakan suatu perbedaan kebudayaan yang nyata antara elite ini dengan masyarakat jawa lainnya. Telah kita perhatikan bahwa pertikaian antara Priayi dan elite-elite keagamaan, pada dasarnya terjadi atas perbedaan-perbedaan ideologi dan status sosio-ekonomi. (Sartono Kartodirdjo, 1992:51 )

5. Ciri-ciri Khusus Radikalisme Agraria
Sejarah radikalisme agraria secara terperinci, pertama kita akan mempertimbangkan empat lambang khusus atau ciri-ciri idiologis yang dapat di temukan dalam semua gerakan : Milenarianisme, Mesianisme, Nativisme, dan kepercayaan terhadap perang suci. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:53 )
Milenarianisme adalah gerakan yang mencita-citakan diakhirinya ketidakadilan dan dipulihkannya keharmonisan. Namun sebelum hal itu terwujud, akan didahului atau ditandai dengan bencana alam, dekadensi moral dan kemelaratan masyarakat. Kepercayaan mesianistis merupakan suatu gagasan tentang juru selamat yang menyatakan suatu abad keemasan, dimana gerakan mesianistis inipun cenderung bersifat milenarianistis. Adapun nativisme atau kepribumian seperti telah disinggung diatas yaitu suatu tuntutan bagi pemulihan nilai dan cara hidup tradisional yang telah mengalami degradasi akibat ulah tingkah orang asing. Namun dalam prakteknya, gerakan kepribumian ini tidak hanya ditujukan kepada kekuasaan asing, melainkan juga kelas Jawa yang sedang berkuasa (elite birokrasi pribumi) yang dianggap sebagai pengkhianat.
Unsur-unsur  idiologis  ini  tidak  dapat  di bedakan  dengan  tegas  di  dalam radikalisme agraria di Jawa pada abad ke 19 dan ke 20. Tidak mungkin mengkategorikan pemberontakan-pemberontakan kaum tani saat ini secara devinitif dan semata-mata bersifat Ratu Adil, juru selamat, pribumi atau perang suci : hampir semuanya mempunyai sifat sinkretisme yang bercorak Jawa. Di dalam penonjolan kembali identitas tradisional ini mata rantai gerakan Ratu Adil dan nativisme cukup jelas. Di dalam contoh-contoh lain para nativisme menolak nilai-nilai asing dominasi orang kulit putih, perubahan sosial yang dipaksakan dari luar mengungkapkan dirinya secara idiologi di dalam seruan untuk mengobarkan perang suci. Adapun kaum muslimin yang saleh, mereka dapat melihat perang suci sebagai pintu gerbang menuju suatu kerajaan Ratu Adil yang memerintahkan masyarakat menurut nilai-nilai Islam untuk selamanya. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:54 )
  
6. Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus Korps Speciaale Troepen (KST), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

a.     Latar belakang

Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.

b.     Surat ultimatum

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

c.      Desersi

Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.

d.     Kudeta

Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." 

Secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal total.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Kudeta_Angkatan_Perang_Ratu_Adil


B. GERAKAN MELALUI ORGANISASI KEAGAMAAN
1. Peranan Elit Agama
Sejak berdirinya Hindia Belanda, dominasi barat terhadap kaum pribumi terus berkembang, tidak saja dalam bidang politik dan ekonomi, melainkan juga dalam bidang lainnya. Tidak dapat disangkal bahwa dominasi barat itu telah membawa suatu perubahan yang cukup besar terhadap struktur masyarakat setempat yang pada akhirnya telah mendorong terciptanya kondisi yang meresahkan dan memungkinkan terjadinya gerakan sosial. Seperti dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, dominasi barat dalam bidang ekonomi, politik, dan kultural atas orang-orang pribumi, akhirnya mengakibatkan timbulnya disintegrasi dikalangan masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya, sehingga terjadi pemberontakan melawan belanda. (Moh Iskandar dkk, 2000:37 )
Pemberontakan santri di Sumatra barat yang dimaksudkannya, tidak lain adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Paderi di daerah Bonjol, Sumatera Barat yang dipimpin oleh ulama besar Malim Basa yang lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi yang dijiwai oleh semangat Jihad Fi Sabilillah di motori oleh para alim ulama, dengan semangat keislaman dan cinta tanah air mengadakan perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Karena tidak seimbang kekuatan dan juga karena berhasilnya Belanda memperdaya golongan adat yang tidak senang dengan gerakan kaum paderi, maka perlawanan kaum paderi, dapat di padamkan. Walaupun akhirnya gerakan itu dapat dipatahkan namun gerakan pembaruan dan semangat perjuangan menjalar dalam darah rakyat Indonesia. (Moh Iskandar dkk, 2000:40 )
Perlawanan santri di Jawa tengah, tidak lain adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Di Ponegoro, dibantu antara lain oleh Kiai Maja, seorang ulama terkenal waktu itu. Perang Di Ponegoro dikenal dengan sebutan Java Ooriog merupakan perlawanan rakyat setempat terhadap kekuasaan kolonialis Belanda yang menerapkan sistim tanam paksa, kerja paksa, dan penyerobotan atas tanah masyarakat, dan semuanya itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang berkepanjangan. ( Moh Iskandar dkk, 2000:41)
Pemberontakan santri di Aceh yang berlangsung pada tahun 1873-1903, adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Cut Nya Dien yang dikenal sebagai perang Aceh. Pemberontakan di Aceh pada mulanya di pimpin oleh Teuku Umar suami Cut Nya Dien sendiri. Setelah Teuku Umar mati sahid di Meulaboh, pemimpin perang kemudian diambil alih oleh Cut Nya Dien. ( Moh Iskandar dkk, 2000: 41)

3.     Sarekat Islam
Sarekat Islam (SI) adalah salah satu perkumpulan emansipasi yang didirikan pada periode 1900-1915. Sejauh manakah SI berbeda dengan perkumpulan-perkumpulan yang lain? la tidak berbeda dalam tujuan pokok , yaitu emansipasi golongan sendiri, tetapi berbeda dalam hal berikut; pertama SI mencapai perkembangan yang hebat yang tidak terimbangi oleh organisasi manapun, kedua SI menyolok karena memiliki keluasan dalam bidang kegiatannya. (http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Sudah sejak beberapa waktu di Surakarta terdapat suatu perkumpulan rahasia Jawa-Cina yang bernama Kong Sing. Anggotanya terdiri dari pengusaha terkemuka baik Cina maupun Jawa. Di dalamnya termasuk pula Samanhoedi (seorang pengusaha batik di kampong Lawean, Solo). Timbul cita-cita emansipasi di kalangan orang Cina mengakibatkan sikap orang-orang Cina berubah dalam tahun-tahun sekitar 1911. Demikian pula dalam tubuh Kong Sing terjadi kerenggangan antara anggota-anggota Cina dan Jawa. Hal ini mungkin sekali meledak karena peristiwa-peristiwa di Surabaya pada bulan Februari 1912, yakni kerusuhan dalam penduduk golongan Cina. Ketika bentrokan dengan polisi, seorang Cina terbunuh dan beberapa orang lainnya luka. Sebagai akibatnya di Surabaya terjadi pemogokan besar perdagangan orang Cina yang melumpuhkan kehidupan ekonomi. Selain hal itu kemungkinan orang-orang Jawa telah lebih dulu keluar dari perkumpulan ini dan mendirikan perkumpulan sendiri yang bernama Rekso Rumekso. Dari perkumpulan inilah akhirnya lahir Sarekat Islam (SI) dengan H. Samanhoedi sebagai pimpinannya. (http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Gerakan emansipasi SI telah menyebar hingga di luar Surakarta. Pada bulan Mei, empat wakil pengurus SI di Solo berangkat ke Surabaya untuk mengadakan propaganda bagi perkumpulan yang baru ini. Salah seorang yang mula-mula sekali mereka hubungi adalah Hasan Ali Soerati, seorang keturunan keluarga saudagar Islam kaya yang berasal dari India. Soerati adalah ketua perkumpulan Taman Manikem (manikam;permata, taman;kebun). Di gedung perkumpulan ini diselenggarakan pertemuan. Anggota-anggota SI dari Surakarta menguraikan tujuan perkumpulan mereka. Pada kesempatan ini orang-orang Solo juga berkenalan dengan Tjokroaminoto yang hadir sebagai ketua perkumpulan panti Harsoyo. Sehari kemudian dilantiklah Soerati dan Tjokroaminoto sebagai anggota baru SI. Gerakan ini meluas pula ke tempat-tempat lain di Jawa, selain dari Surabaya. Pada bulan September, berdasarkan akta notaris, ditetapkan anggaran dasar baru SI oleh Tjokroaminoto, serta dimajukannya permohonan resmi untuk mendapatkan pengakuan badan hukum bagi perkumpulan baru ini.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Pada 26 Januari 1913, di taman kota Surabaya diselenggarakan kongres pertama SI. Pada malam menjelang pertemuan ini, H. Samanhoedi sebagai pendiri perkumpulan ini disambut secara besar-besaran. Kongres ini dihadiri delapan sampai sepuluh ribu orang dan dipimpin langsung oleh Tjokroaminoto. Pada 23 Maret, SI mengadakan kongres umum yang kedua di Surakarta. Pertemuan diselenggarakan di taman istana Susuhunan dan malam menjelang kongres dipilih pengurus besar yang selanjutnya bernama Centraal Comite dengan H. Samanhoedi tetap terpilih sebagai ketua dan Tjokroaminoto sebagai wakilnya. Pada kongres kedua inipun dihadiri oleh sejumlah besar peminat yang ditaksir tujuh ribu sampai dua puluh ribu orang. Sesudah kongres yang diadakan di kedua tempat tersebut, SI berkembang semakin pesat.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Kongres berikutnya tahun 1914 dilangsungkan di Yogyakarta dari tanggal 18 sampai 20 April. Tujuan utama pertemuan adalah menetapkan anggaran dasar dan memilih Centraal Comite yang baru. Pemilihan memberi kemenangan definitif bagi Tjokroaminoto atas Samanhoedi, Goenawan menjadi wakil ketua. Pergantian kekuasaan ini berlangsung bukan tanpa pertarungan. Samanhoedi sebagai "bapak" SI terpaksa menelan pil pahit dengan hanya diangkat menjadi ketua kehormatan. Sesudah pemilihan ia tidak pernah lagi menghadiri kongres selanjutnya. Perselisihan antara para pengikut Tjokroaminoto dan para pengikut Samanhoedi kemudian dilanjutkan dalam pers. Meskipun dalam keadaan yang demikian, gerakan ini bertambah luas bahkan juga tersebar di seluruh Sumatera dan Kalimantan. http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
SI sangat aktif dan menunjukkan sifat yang luar biasa dinamis. Kegiatan SI yang praktis dapat dibagi dalam kategori berikut. Pertama kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan para anggota, seperti dibentuknya toko-toko koperasi dan usaha-usaha lain, mendirikan sekolah-sekolah, dan sebagainya. Kedua, meniadakan keluhan dan memperjuangkan perubahan dalam bidang pemerintahan, peradilan , pendidikan umum, dan politik keagamaan pemerintahan. Ketiga, meniadakan keluh-kesah dalam bidang keuangan dan ekonomi. Dalam hal meniadakan keluhan, SI memainkan peranan "pra-Parlemen" sekian lama sebelum terdapat suatu perwakilan rakyat yang sejati di Indonesia, dan disinilah letak arti SI.
Dalam berbagai pikiran tentang emansipasi yang berlaku dalam kalangan SI dapat dibedakan unsur-unsur berikut:
a.       Penolakan akan bermacam-macam prasangka negatif terhadap golongan penduduk Indonesia dan perlakuan yang tidak sama antara bangsa Indonesia dan bukan bangsa Indonesia
b.      Penghargaan yang positif terhadap identitas diri
c.        Cita-cita penentuan nasib sendiri dalam politik
d.       Anti kapitalisme

Berbagai cara yang ditempuh pemimpin-pemimpin SI untuk menyadarkan rakyat bahwa sikap selalu merasa diri lebih rendah dan mengiakan segala-galanya itu salah. Mereka melakukan protes terhadap ucapan-ucapan diskriminasi dari orang Cina dan Eropa terhadap wakil golongan penduduk Indonesia. Mereka menantang terhadap tata cara penghormatan tradisional. Dalam pers dan pidato, mereka terus menekankan bahwa sekarang tidak masanya lagi orang Indonesia merasa lebih rendah berhadapan dengan setiap orang Eropa atau Cina yang ditemuinya. Bahwa sebutan wong cilik itu keliru karena manusia sama derajatnya di hadapan Tuhan. Mereka senantiasa mengungkapkan bahwa orang mempunyai hak memprotes dengan cara-cara yang layak terhadap kesewenangan yang resmi, dan bahwa orang tidak perlu takut dalam mempergunakan haknya. Mereka jelaskan kepada para petani gula bahwa mereka tidak wajib menyewakan tanahnya untuk jangka waktu yang lebih lama kepada pabrik. http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
SI telah   menyadarkan    lapisan-lapisan   luas   masyarakat   Indonesia   dari keterbelakangannya dan dari kenyataan orang tidak begitu saja harus pasrah. Beberapa contoh yang terjadi; seorang pegawai muda bernama Soemarsono, menolak merangkak di tanah untuk menghadap majikannya yang baru, asisten residen Karawang. la pun tampil dengan mengenakan pakaian Eropa, atau pada seorang wartawan Marco yang yang justru mengenakan pakaian Jawa bila ia pergi bersama-sama orang Eropa ke gedung kesenian karena ia tidak ingin mengingkari identitasnya. Di Surabaya, anggota-anggota SI membanggakan diri bahwa kini orang mempunyai residen sendiri. Di Surakarta, pemimpin-pemimpin di lingkungan SI menawarkan jasanya dengan sadar kepada para pejabat untuk mendampingi mereka dalam melakukan tugas kepolisian dan pemadam kebakaran. Para petani di daerah gula juga mulai meminta harga yang lebih tinggi untuk tanah mereka. Di perkebunan-perkebunan daerah Malang, kuli-kuli menjadi semakin keras sikapnya. Di tanah-tanah swasta sekitar Surabaya, orang bangkit melawan tuan-tuan tanah. Karyawan Maskapai Tram Semarang Juwana dan juga dari perusahaan-perusahaan lain di daerah Rembang, berusaha melakukan pekerjaan mereka lebih baik untuk menunjukkan bahwa mereka tidak kalah dari ras-ras lainnya. . http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Sehubungan dengan harapan, para penganut gerakan SI yang tergolong masyarakat biasa memiliki hasrat akan masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini muncul gejala "milenarisme". Istilah ini mencakup berbagai macam gerakan yang revolusioner primitif yang acap kali muncul di kalangan bangsa atau golongan yang kurang berpendidikan. Penganut gerakan milenarisme percaya bahwa akan segera tiba masyarakat yang seluruhnya baru yang akan melenyapkan kekurangan. Kebanyakan gerakan milenaristis di Indonesia mesianistis sifatnya, yaitu orang percaya bahwa akan tercipta suatu negara bahagia oleh seorang juru selamat adikodrati atau mesias. Sang mesias dalam tradisi milenarisme Jawa adalah tokoh Ratu Adil. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 kadang-kadang orang dapat mengkonstatasi adanya gerakan milenaristis yang lebih primitif bergandengan dengan gerakan sosial yang modern. http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Di Indonesia pun terlihat perbauran ini muncul dalam gerakan SI yang pada dasamya memperlihatkan sifat-sifat milenaristis yang kuat, walaupun ia merupakan gerakan yang modern dan rasional. Harapan mesianistis dalam rangka SI tertuju pada Susuhunan Surakarta, juga terhadap Mangkunegara. Residen Surakarta menyatakan bahwa pada kongres SI di Surakarta (1913) tersebar desas-desus bahwa H. Samanhoedi bertindak sebagai utusan Susuhunan di sana. Hal yang sama pula terjadi dengan beredarnya cerita Tjokroaminoto di sekitar Sidoarjo, Surabaya. Pada saat mengadakan rapat umum di sana, banyak massa berdatangan memenuhi jalan dan alun-alun. Mereka bukan anggota SI, tetapi hanya peminat yang diperkirakan berjumlah puluhan ribu orang. Walaupun dilarang untuk berjabatan tangan dengan Tjokroaminoto, mereka tetap bersikeras berdesak-desakan demi bertemu dan melihat sang pemimpin. Dari segala jurusan, orang memegang Tjokroaminoto, mencium tangannya, bahunya, bahkan tepi jasnya. Selain itu SI cabang Sumenep di Madura menyebut Tjokroaminoto Whisnu kami, ini merupakan sebutan mesianistis yang jelas dimana tokoh mesias di Jawa sering dianggap sebagai penjelmaan salah satu dewa Hindu. http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Pada umumnya reaksi sikap pemimpin SI menolak terhadap gejala milenarisme dalam gerakan tersebut Tjokroaminoto sendiri tidak menerima peranan mesias yang diberikan kepadanya, namun ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi pengikutnya yang demikian. Dalam pidatonya pada kongres di Bandung, Tjokroaminoto berkata, "Walaupun hati kita penuh dengan harapan dan hasrat yang agung, tidak pernah kita bermimpi akan datangnya seorang Ratu Adil, atau keadaan-keadaan lain yang mustahil”. Walaupun titik berat gerakan SI terletak di Jawa, SI merupakan gerakan emansipasi Indonesia yang pertama, yang merekrut anggota-anggotanya praktis dari seluruh Indonesia. Para pemimpin SI melakukan perjalanan keliling di Jawa dan luar Jawa untuk mencari cabang-cabang dan anggota. Hanya di beberapa bagian di kepulauan Indonesia SI tidak memperoleh pengikut yang berarti jumlahnya. Misalnya di Sumatera Utara,  Sumatera Barat, Sulawesi, dan bagian lain di Indonesia Timur. Hal ini karena baru belakangan gerakan ini masuk ke sana. Berbeda dengan SI, baik BO (Boedi Oetomo) maupun IP (Indische Partij) tidak dapat membanggakan diri mempunyai penganut yang berarti jumlahnya di luar Jawa. BO hanya membatasi radius kegiatannya pada penduduk Jawa dan Madura.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Pada suatu kongres 1917 perkumpulan ini menolak sebuah usul untuk membuka keanggotaan bagi penduduk daerah lain dengan alasan bahwa memang terdapat persatuan di antara penduduk Jawa dan Madura tetapi tidak di seluruh Indonesia. Sedangkan IP pada prinsipnya terbuka bagi semua penduduk Indonesia tetapi seperti kita ketahui perkumpulan ini pada pokoknya tetap merupakan perkumpulan orang Indo-Eropa. Memang, SI juga mengadakan pembatasan pada keanggotaan dengan mengizinkan perkumpulan hanya dimasuki oleh orang Islam, dalam prakteknya SI hanya mengecualikan golongan Kristen Indonesia, golongan yang dahulu dan sekarang hanya merupakan minoritas di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia, setidak-tidaknya dalam nama, adalah orang Islam. Bahwa mereka tidak saleh, hal itu tidak merupakan halangan untuk menjadi anggota SI.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/
Di samping hal tersebut, agama Islam bukan merupakan suatu faktor negatif yang mengesampingkan minoritas dan bukan sekadar agama nominal dari mayoritas rakyat Indonesia. Pertama, Islam adalah salah satu faktor yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan etnis di Indonesia. Kedua, Islam mempunyai muatan psikologis yang kuat, yang mempunyai daya tarik bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Terutama bagi banyak orang Indonesia, Islam berarti sisa terakhir kebebasan jiwa terhadap penjajah Belanda. Dengan hal itu dia memenuhi kebutuhan mereka akan harga diri. Atau seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgronje, "kebanyakan bumiputra terikat pada agamanya sebagai salah sebuah barang yang hanya sedikit jumlahnya, yang boleh mereka anggap sebagai milik mereka yang tiada terjamah; Islam adalah yang terakhir yang masih mereka miliki setelah begitu banyak mereka dirampok oleh Belanda". http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/
Dengan memilih Islam sebagai identitasnya, SI memastikan diri menjadi sarana yang ampuh dalam cita-citanya menuju emansipasi, dan dalam usahanya di sini untuk menarik sebanyak mungkin orang Indonesia dari berbagai kepulauan. Dan mengingat keberhasilannya dapatlah kita menganggap SI sebagai gerakan yang telah memberikan sumbangan penting bagi penyatuan Indonesia.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/
Tiga tahun berdirinya Boedi Oetomo, pada tahun 1911 bagaikan suatu kebetulan didirikanlah perkumpulan Sarekat Islam di Solo. Latar belakang ekonomis perkumpulan ini hanyalah perlawanan terhadap pedagang antara ( penyalur ) orang Cina. Sungguhpun demikian kejadian itu merupakan isyarat bagi orang muslim bahwa telah tiba waktunva untuk menunjukan kekuatannya. Para pendiri Sarekat Islam mendirikan organisasinya tidak semata- mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina. Tetapi membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera. la merupakan reaksi terhadap rencana krestenings-politeik ( politik peng-kristenan ) dari kaum zending, perlawanan terhadap kecurangan dan penindasan dari pihak ambtenar-ambtenar bumiputera dan Eropa. (Sartono Kartodirdjo, 1975:187 )
Pemerintah Hindia Belanda menghadapi situasi yang demikian hidup dan mengandung unsur-unsur revolusioner, menempuh jalan hati-hati dan mengirimkan salah seorang penasehatnya kepada organisasi tersebut. Gubernur Jenderal Indenburg meminta nasehat-nasehat dari para residen untuk menetapkan kebijaksanaan politiknya. Hasilnya ialah untuk sementara SI tidak boleh berupa organisasi yang mempunyai pengurus besar dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal.( Sartono Kartodirdjo, 1975:188 )
Para pemimpin Sarekat Islam akhirnya terpaksa harus menerima kenyataan bahwa SI waktu itu tidak dapat berdiri sebagai suatu organisasi yang bersifat nasional, namun sebagai organisasi lokal. Dengan demikian para pemimpin SI terpaksa harus puas dengan adanya SI lokal. Ternyata status hukum seperti itu tidak menjadi penghambat para pemimpin SI lokal untuk menarik simpati masyarakat. Tjokroaminoto misalnya, dengan gaya kepemimpinannya berhasil menarik simpati masyarakat, tidak saja kalangan pedagang dan pelajar, tapi juga kalangan birokrasi. Dalam waktu relatif singkat, anggota SI mencapai puluhan ribu orang, bahkan ada yang menyebutkan sampai dua juta orang. ( Moh Iskandar dkk, 2000 : 47 )
Itulah sebabnya lain dari pada partai lainya, maka kecepatan tumbuhnya SI bagaikan meteor dan meluas secara horisontal, sehingga SI merupakan organisasi massa yang pertama di Indonesia, yang antara tahun 1917-1920 sangat terasa pengaruhnya di dalam politik Indonesia. Corak demokratis dan kesiapan untuk berjuang yang mendekatkan beberapa cabang SI dan para pemimpinnya kepada ajaran marxis. Terutama SI di bawah Semaun Darsono merupakan pelopor yang menggunakan senjata baru dalam perjuangan melawan imperealisme, yaitu teori perjuangan marx. (Sartono Kartodirdjo, 1975:188-189)


Mohammad   Iskandar   dkk,  2000,   Peranan   Elit   Agama   Pada   Masa   Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
 Sartono Kartodirdjo, 1992, Ratu Adil,  Sinar Harapan, Jakarta.
 Sartono kartodirdjo Dkk, 1975, Sejarah Nasional Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta.