Sabtu, 25 Desember 2010

Konflik Afrika


 Afrika, benua dengan penduduk sekitar lima ratus juta jiwa dengan luas wilayah kurang lebih 30.300.000 kilo meter persegi atau seperlima daratan bumi, masih dipenuhi nasib yang kurang jelas. Tekanan ekonomi, pergantian pimpinan pemerintahan, perang ideologi dan suku, system politik yang tidak baik dan kelaparan masih menguasai sebagia besar dari Negara dibenua tersebut, termasuk didalamnya Negara-negara di Afrika bagian tengah seperti Rwanda, Burundi, Uganda dan kongo.
Sebagian besara Negara di Afrika bagian tengah masih bergejolak sampai saat ini. Afrika benar-benar negeri yang tak pernah sepi dari derita keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Ia mengulang kembali asal muasal konflik karena ketidakadilan, masih bercokolnya penguasa tiran dan korup serta rakyatnya yang belum sepenuhnya merengkuh nikmat kemerdekaan.
Korban konflik dan perang yang masih terus berkecamuk di beberapa negara Afrika seperti Sudan, Somalia, dan Kenya, mengenaskan. Jauh sebelumnya, di Kongo, Rwanda, Nigeria, pertikaian etnis atau suku lebih kental telah dibandingkan dengan kesenjangan sosial ekonomi. Afrika terseret dalam kancah perang dan pertikaian antarsuku dan antaretnik yang paling parah dan sulit dicarikan solusi damainya. Tangan-tangan PBB seperti lumpuh tak berdaya. Jasa negarawan dunia dan inisiatif berbagai pihak masih terus diharapkan untuk menjadi mediator untuk mengakhiri konflik berdarah yang mengakibatkan banyak jatuh korban, termasuk anakanak di bawah umur.
Laporan tahunan lembaga yang melakukan penelitian atas konflikkonflik internasional yang berkedudukan di Heidelberg, Jerman (Heidelberger Institut fur Internationale Konfliktforschung/HIIK) menyebutkan anak-anak di bawah umur telah terseret menjadi milisi dan tentara sukarela yang dipaksa ikut perang memanggul senjata.Meski UNICEF mengecam keras keikutsertaan anakanak dalam perang yang tak berkesudahan itu, Afrika tercatat sebagai benua konflik dan perang saudara yang terparah.
Afrika memang negeri yang tak pernah sepi dari derita konflik etnik dan perang antarsuku.Menurut HIIK,mereka berasal dari negara-negara Burundi, Pantai Gading, Guinea, Kongo, Somalia,Sudan,Chad,dan Uganda. Masyarakat Afrika umumnya heterogen dan terdiri atas berbagai suku-etnik dan bahasa yang sangat beragam.
Tidak dapat di pungkiri lagi, bahwa sebagian besar negara bagian afrika tengah rawan konflik melihat keadaan sosial, ekonomi, budaya, pemerintahan dan politk yang tidak baik dan berpotensi melahirkan konflik dinegeri tersebut. Tetapi situasi rawan konflik itu tidak diimbangi dengan sarana keamanan yang cukup. Jadi pemerintah disana harus bekerja keras jika ingin menyelesaikan permasalahan tersebut.

A.  KONSEP KONFLIK
Secara umum konflik diartikan sebagai persaingan, pertentangan, benturan, dan sebagainya yang melibatkan dua atau lebih orang, kelompok, suku, negara dan sebagainya.
Istilah konflik berasal dari bahasa Latin,“Com” yang berarti “bersama” dan “Fligere” yang berarti melanggar, menabrak, menemukan, membentur. Dengan demikian, konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain, karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, “pertikaian” menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu, yang diekspresikan, diingat dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984). Konflik senantisa berpusat pada beberapa sebab utama: tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumbersumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341). Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbedabeda (Devito, 1995:381).
Berbagai mitos tentang konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional maupun kontemporer (Myers, 1993:234). Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Bahkan seringkali konflik dikaitkan denga kemarahan, agresivitas, pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Sebaliknya, pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan, konflik adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekwensi logis interaksi manusia.
Pandangan lain terhadap konsep konflik dapat kita lihat dalam skripsi yang berjudul “ Hubungan Antara Gaya Konflik ” yang ditulis oleh Ira Setiari Soerjani (1992) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi dalam setiap hubungan antar-manusia, dalam usahanya menyesuaikan diri satu dengan yang lain, berusaha saling memahami satu sama lain, manusia akan selalu menghadapi kenyataan bahwa orang lain adalah individu yang berbeda dengan dirinya (Eshelman, 1985; Myers, 1988). Dikatakan oleh Blood dan Blood (1987):
“ Two people is two people, essentially different. They never have exactly the same perspective”
menurut Myers (1998), konflik sebagai ketidaksesuaian yang dirasakan atas berbagai tindakan atau tujuan (Myers, 1988). Sedangkan menurut Joyce L. Hocker dan William W.Wilmot (1985) dalam buku mereka Interpersonal Conflict, konflik adalah suatu pertentangan atau perdebatan, yang diungkapkan, antara paling sedikit dua pihak yang saling tergantung, dimana mereka saling mempersepsikan adanya ketidaksesuaian tujuan, ketiadaan tingkah laku (imbalan) yang menyenangkan, dan adanya campur tangan pihak lain dalam mencapai tujuan.
Selain itu konflik juga dapat diartikan sebagai ketidak setujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka.

B.  POTENSI KONFLIK DI AFRIKA TENGAH
Negara-negara di Afrika tengah sampai saat ini masih rawan konflik. Hal ini disebabkan karena kondisi dan keadaan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang tidak stabil dan belum kondusif seperti di Rwanda, Burundi, Uganda dan Kongo. Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan Negara-negara diafrika tengah masih rawan konflik atau berpotensi melahirkan konflik yaitu:
a.       Pemilahan garis batas negara yang tidak melihat logika etnis dan perbedaan suku,  Kasus  Rwanda-Burundi  yang hingga  saat ini tetap menjadi persoalan yang  tak  terselesaikan  merupakan  contoh  dari  fenomena  tersebut, Dampaknya  adalah konflik antar etnis yang sangat  sukar untuk diselesaikan, walaupun telah ikut campurnya  kekuatan asing seperti tentara PBB serta memicu semangat irredentisme dan separatisme. Pemilahan garis batas yang menimbulkan konflik ini dahulunya dibuat oleh para penjajah untuk mengadu domba sesama bangsa Afrika.
b.  Politik Devide et Impera yang dilakukan penjajahan, Orang barat datang ke Afrika untuk mencapai kejayaan Gold Glory Gospel dengan cara apapun misalnya dengan mengadu domba sesama suku pedalaman Afrika, Membuat perlakuan yang berbeda antara sesama suku dan berbagai macam hal yang bisa membuat masing-masing suku berperang sendiri-sendiri, dan kemudian mengambil semua harta kekayaan alam Afrika untuk kepentingan penjajah pada waktu itu. Masyrakat Afrika hanya menjadi buruh dan budak penjajah sehingga tidak punya kesempatan untuk membangun negaranya.
c.  Perbedaan Kesempatan Politik, Kedatangan penjajah barat di Afrika yang berniat mengambil harta kekayaan alam Afrika tidak memikirkan lagi kaidah atau etika balas budi terhadap tanah jajahan. Berkaitan dengan Politik Devide et Impera tersebut diatas, Kaum penjajah membeda-bedakan kesempatan atau hak-hak yang menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan. Contohnya Penjajah Belgia memberikan kemudahan kepada suku minoritas Tutsi daripada mayoritas Hutu dalam bidang pendidikan, kemiliteran dan hak-hak politik, sehingga sampai saat inipun masih berlangsung pertikaian antara suku Hutu dan Tutsi, Padahal jika kita tilik ke belakang, Sebelum tahun kedatangan Belgia di tahun 1916 Kedua suku tersebut hidup damai berdampingan.
d. Lemahnya legitimasi politik penguasa, Kebanyakan negara di Afrika adalah bekas negara jajahan baik yang diberi, dipersiapkan ataupun persemakmuran, oleh karena itu ketergantungan terhadap negara penjajah masih ada, disamping itu penguasa atau rejim di Afrika tidak mampu mengambil kepercayaan atau memperoleh legitimasi dario masyarakat dalam pemerintahan negara, karena seringkali penguasa-penguasa Afrika sering menggunakan cara-cara kekerasan/anarkhis untuk mendapatkan legitimasi itu. Frekuensi pergantian kekuasaan di negara-negara Afrika relatif sering sehingga kepercayaan masyarakat memudar untuk memberi legitimasi kepada yang berkuasa secara sah.
e. Negara-negara Afrika rawan campur tangan asing, Setelah konflik yang melanda Afrika berkepanjangan dan tidak terselesaikan, langkah-langkah yang diambil para penguasa Afrika seringkali justru menimbulkan kompleksitas permasalahan seperti mengundang kekuatan asing untuk menyelesaikan masalah internal yang mengakibatkan berbagai masalah baru. Kekuatan asing seringkali tampil jika "diundang" oleh pihak dalam negeri semisal pemerintahan yang sah untuk membantu menumpas oposan, belum lagi jika para oposan juga memanggil kekuatan asing untuk campur tangan menggulingkan penguasa yang berkoalisi dengan kekuatan asing (biasanya negara penjajah) maka justru permasalahan semakin rumit. Para penguasa Afrika tidak segan mengeluarkan biaya untuk membiayai perang/pasukan asing daripada untuk membangun infrastruktur negara yang sangat penting bagi negara-negara berkembang seperti di Afrika.
f.  Kemiskinan, Kemiskinan yang melanda Afrika menurut ilmuwan/politikus barat adalah kemiskinana yang struktural, disamping budaya Afrika yang mendukung demikian, Sejarah Afrika sebagai negara terjajah juga turut mempengaruhi kemiskinan Afrika, terlebih sekarang keberadaan Afrika sebagai negara dunia ketiga yang terbelit hutang-hutang luar negri serta pembiayaan negara yang seringkali dilanda konflik. Kondisi geografis Afrika yang dominan Gurun pasir dan Hutan perawan yang sangat luas, menyebabkan Afrika membutuhkan suplai pangan yang sangat besar. Kemiskinan yang melanda Afrika sudah sangat parah sehingga menimbulkan problem-problem baru yang kompleks seperti masalah pengungsi yang menyeberang batas negara karena kelaparan. Hal ini tentu membuat negara tetangga juga ditimpa masalah-masalah seperti suplai pangan, pengadaan kamp pengungsi, pemulangan pengungsi, stabilitas kawasan dan sebagainya.
g.  Korupsi dan Kleptokrasi, Para penguasa di Afrika mempunyai budaya yang bertolak belakang dengan hakekat pembangunan, mereka bercorak elitis, status quo, mementingkan diri sendiri, arogan dan memupuk kekayaan dengan uang negara (penggelapan) di Bank-bank luar negeri. Mereka tidak melihat rakyat yang tertindas, dilanda konflik berkepanjangan, kelaparan dan berbagai masalah lainnya, bahkan kebanyakan pemimpin Afrika cenderung korup.
Jika melihat beberapa faktor diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan tentang faktor-faktor penyebab Negara-negara diafrika khususnya diafrika tengah masih rawan terhadap konflik yaitu; pertama. Masalah kepemilikan tanah yang berlarut-larut, kesenjangan ekonomi dan sosial serta benturan revolusi kebudayaan.
Benturan dalam bidang-bidang terakhir ini dapat dilihat bersumber dari persaingan, konflik, dan bahkan perang antar Negara, diantaranya perang antar Negara diafrika bagian tengah. Konflik dan benturan ini mulai terjadi sejak perang salib (Crusade) pada abad ke-11 dan ke-12, penaklukan kembali Andalusia dan ekspansi dinasti Turki usmani ke Eropa pada abad ke-15 dan ke-16. samua benturan yang melibatkan agama dan etnis ini terjadi ketika kekutan-kekuatan muslim memegang hemogoni dan dominasi dalam percaturan dunia politik internasional. (azyumardi azra, konflik baru antar peradaban).
Kedua. Banyaknya perjuangan-perjuangan terhadap kesetaraan. Beberapa Negara di Afrika diterapakan politik apartheid dimana terjadi perbedaan status sosial antara orang kulit putih dan kulit hitam. Kaum kulit putih lebih diistimewakan dari kaum kulit hitam.mereka orang-orang kulit hitam tidak mendapat tempat, baik dipemerintahan maupun dalam masyarakat. Akhirnya sering melahirkan konflik antar etnis dinegara tersebut. Hingga akhirnya Nelson Mandela muncul sebagai tokoh perdamain disana.
Ketiga. Persaingan antar kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Misalnya kasus perang antara Suku Hutu yang mayoritas dan suku minoritas Tutsi yang berkepanjangan telah mencabik- cabik Rwanda dan memorak-porandakan tatanan kebangsaan. Kekejaman yang terjadi, tergambar dalam film berjudul Hotel Rwanda yang diperankan oleh Don Cheadle sebagai Paul Rusesabagina, manajer hotel, dan Nick Nolte sebagai komandan PBB di Kigali. Mereka bersusahpayah menyelematkan pengungsi Hutu dan Tutsi dari pembantaian kaum pemberontak dan milisi Hutu yang disebut Interhamwe. Seorang anak belia merintih kesakitan di bawah dekapan misi kemanusiaan yang diperankan bintang rupawan Cara Seymour berdesis,“Aku berjanji takkan menjadi Tutsi lagi.” Begitu pun di negara Sierra Leone, Afrika Barat. Di sini, para penjahat perang dan pemimpin pemberontak Alex Tamba Brima, Santigie Borbor Kanu dan Bazzy Kamara divonis seumur hidup atas kejahatan perbudakan, memaksa anak di bawah umur menjadi serdadu, pemerkosaan, dan pembunuhan keji.
Keempat. Politik para penguasa yang tidak berpihak pada rakyat, shingga melahirkan kubu-kubu politik baru yang saling bersaing satu sama lain yang menyebabkan lahirnya maslah baru dan berpotensi menimbulkan konflik yang lebih besar.
C.  PERANG SAUDARA ANTARA RWANDA, BURUNDI, UGANDA DAN KONGO
Rwanda dan Burundi merupakan suatu negara yang awalnya merupakan satu negara dibawah kekuasaan belgia setelah perang dunia pertama. Tetapi sejak tahun 1919 Rwanda-Burundi menjadi mandat liga bangsa-bangsa, kemusian pada tahun 1946 negeri ini menjadi perwalian PBB. Referendum untuk menentukan masa depan kawasan ini ditetapkan pada tahun 1961 dibawah pengawasan PBB yang menyarankan diberikannya kemerdekaan. Pada tanggal 1 juli 1962 Rwanda-Burundi merdeka sebagai dua negara yang terpisah.
Jauh sebelum negara ini merdeka, diantara kelompok tutsi dan hutu sering terjadi konflik. Kedua kelompok ini merupakan kelompok suku terbesar di negara tersebut. Setelah merdeka, negeri ini masih sering dilanda konflik akibat tidak stabilnya sistem pemerintahan karena kudeta militer yang sering terjadi.
Pada tahun 1969 dan 1988, Burundi mengalami permusuhan yang berulang-ulang antara suku Hutu dan Tutsi. Negara ini diperintah oleh raja Tutsi Mwami, yaitu Ntare V sampai tahun 1966, saat perdana mentri Micombere menggulingkan Mwami dan membentuk republik dengan dirinya sebagai presiden. Pada tahun 1976 Micambero digulingkan oleh Kolonel Jean-Babtiste bagasa yang menduduki kursi kepresidenan. Namun 1978 bagasa digulingkan pula oleh Mayor Pierre Buyoya.
Pada tahun 1993 Buyoya terseingkir dalam pemilihan multipartai, Melchior Ndadaye, presiden pertama dari suku Hutu terbunuh dalam kudeta yang gagal pada 21 oktober 1993 oleh pasukan Tutsi. Kejadian menyebabkan terjadinya kekerasan dahsyat yang menewaskan sekitar 50 sampai 100 ribu warga.  Tewasnya pengganti Ndadaye dari suku Hutu bersama presiden Rwanda dalam kecelakaan pesawat pada 6 april 1994 menyulut gelombang pembunuhan besar-besaran di Rwanda dan Burundi.
Uganda dan kongo juga tidek pernah lepas dari konflik baik itu antar saudara maupun konflik dalam bidang pemerintahan. Misalnya pembantaian yang terjadi pada tahun 1971. peristiwa ini berawal ketika Idi Amin mencampakkan Undang-undang dasar 1967, menyusul kudeta pada tahun 1971. Idi Amin membubarkan majelis nasional dan mengangkat dirinya sendiri menjadi kepala negara  dengan gelar presiden seumur hidup. Selama delapan tahun berikutnya polisi rahasia Amin membantai 300.000 orang.
Disamping itu, Sengketa antar negara yakni kongo dan uganda sampai juga pernah terjadi tetapi Masalah ini telah diserahkan  kepada Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Sengketa ini diajukan ke pengadilan internasional pada 1999. Kongo menuduh Uganda memasuki wilayah negara mereka dan oleh karena itu menuntut ganti rugi atas kerusakan-kerusakan yang terjadi di wilayah Kongo. Perkara yang dihadapkan pada Pengadilan Internasional ini pelik. Pada 1996 sengketa itu menyebabkan perang antara 6 negara di Afrika dan menewaskan 4 juta orang.
Pada suatu sidang di Den Haag, Kongo dan Uganda saling menuduh. Menurut jurubicara Kongo, sampai saat ini masih banyak orang dibantai oleh tentara Uganda. Tentara Uganda masih berada di Kongo, mereka berperan dalam jaringan kepala-kepala suku dan dari Kampala mereka memasok senjata.
Paul Reicher, warga Amerika yang bertindak sebagai pengacara Uganda menyangkal semua tuduhan. Ia mengatakan: "Uganda justru membantu Kongo memulihkan ketertiban, karena Kongo tidak mampu menjaga keamanan dalam negri. Harus diakui bahwa kehadiran pasukan-pasukan Uganda di Kongo memang penting. Selain itu para pemberontak di Kongo membahayakan Uganda"
Sidang pengadilan yang berlangsung di Vredespaleis, istana perdamaian di Den Haag, sedianya direncanakan dilaksanakan pada tahun 1996 namun ditunda karena sudah mulai ada hubungan diplomatik antara Kongo, negara terkaya dan terbesar di Afrika Tengah dengan Uganda dan Burundi. Pengadilan Internasional tidak ingin mengganggu usaha pemulihan hubungan diplomasi itu dengan melangsungkan sidang-sidang pengadilan.
Walaupun hubungan antar negara-negara itu sejak 2002 membaik, keresahan di kawasan Ituri di Kongo bagian timur tidak mereda. Di wilayah perbatasan Rwanda, Burundi dan Uganda tiap bulannya ribuan orang menjadi korban perang. Sebagian besar parasarana di Kongo hancur dan kekayaan alam di sana dijarah. Sedang penduduknya, banyak yang mengalami trauma. Diperkirakan di waktu mendatang ratusan ribu wanita akan meninggal akibat Aids. Mereka terjangkit penyakit itu karena pemerkosaan yang amat banyak terjadi.
Sedianya Kongo mengajukan Uganda, Rwanda dan Burundi ke Mahkamah internasional di Den Haag, dengan tuduhan pencurian kekayaan alam dan pelanggaran hak asasi manusia secara massal. Pengaduan ini ditolak, karena Rwanda dan Burundi tidak mengakui keabsahan Mahkamah Internasional. Pada 2002 Kongo kembali mengadukan Rwanda pada pengadilan, namun kali ini berdasarkan piagam PBB. 15 Hakim internasional masih membahas kasus ini.
Sementara ini Mahkamah Pidana Internasional sudah terlibat dalam sengketa antara Uganda dan Kongo. Atas permohonan kedua negara jaksa penuntut Ocampo menyelidiki apakah orang-orang yang melakukan pelanggaran ham bisa diadili. Baik Kongo maupun Uganda khawatir perkembangan itu akan mengganggu keadaan yang relatif tenang.
D. PENYELESAIAN KONFLIK
Situasi-situasi yang telah dihadapai afrika tengah merupakan masalah yang susah dicari pemecahanya. Tetapai maslahnya apakah situasi seperti ini akan berlangsung terus, bahkan dibiarkan membengkak? Keadaan itu sebenarnya sudah mengandung tuntutan dari dalam untuk diubah dan diatasi. Karena negara yang terbelenggu dan terperangkap dalam situasi seperti itu sebenarnya merosot kedalam situasi yang sangat merugikan. Dengan kata lain terdapat keadaan dimana suatu negara seharusnya berada, tetapi kerena suatu hal negara tersebut tidak berada pada situasi yang seharusnya dia tempati, sehingga keadaan yang diinginkan masih harus dikejar dan diusahakan.
Berikut ini beberapa usaha yang secara umum perlu dilakukan untuk mengatasi masalah konflik:
1.      Mengurangi kekerasan kolektif.
Mengurangi kekerasan kolektif berarti mengurangi ketakutan, ancaman dan kecemasan yang diakibatkan oleh peperangan dan potesi konflik serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Karena masalahnya sudah bersifat global, usaha pemecahanya haruslah melibatkan semua pihak, tidak hanya yang bertikai. Peran PBB sebagai organisasi dunia dan negara-negara adikuasa yang turut menyumbang peperangan dengan senjata dan intervensinya sangat menentukan usaha tercapainya suatu negara yang lebih aman dan damai.
2.      Menciptakan kekuasaan tanpa kekersan
Kekuasaan tanpa kekerasan (satyagraha, non-violence) seperti yang dilakukan Mahatma Gandi di India. Dengan sistem kekuasaan seperti ini dia berhasil menghadapi penjajah ingris. Jika ini diterapkan diafrika dapat mengurangi terjadi konflik dinegri tersebut sebab pengaruh bangsa asing disana masih sangat besar, sebab jika Afrika ingin llepas dari konflik kekeuasaan atau pengaruh bangsa-bangsa asing disana harus dihilangakan. Banyak masalah yang sebenarnya bisa diselaaikan dengan jalan damai tetapi karena campur tangan bangsa asing sehingga masalah tersebut diselasaikan dengan kekrasan.
Menurut gandhi, ”satyagaraha”, ”kekuatan jiwa itu bukan tehnik untuk diterapakan dalam beraneka macam tindakan, tetapi suatu pandangan hidup yang timbul dari sikap-sikap manusiawi yang paling dalam. Ahimsa tidak hanya sebagai perbuatan tidak membunuh , tetapi juga sebagai cinta tak terhingga yang ”menyebrangi” batas-batas wilayah dan meliputi seluruh dunia. Ghandi pernah berkata bahwa dalam melaksanakan satyagraha dalam tahap permulaan, pencarian kebenaran tidak diperkenankan menerapkan kekerasan pada lawan, sebaliknya harus menghentikan kesalahan lawan dengan kesabaran dan simpati, karena apa yang tampak benar bagi seseorang dapat dianggap salah oleh orang lain, dan kesabaran berarti pengorbanan diri. (christoph bertram, konflik dunia ketiga)
Dari sini jelas bahwa kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru sebaliknya kehancuran yang akan ditemui. Bila semua orang di Afrika mempunyai pandangan dan sikap seperti yang dimiliki Gandhi, segala bentuk penderitaan disana pasti akan semakin berkurang. Setidaknya kita berharap semoga semakin banyak orang yang, khususnya orang-orang yang memegang puncak kekuasaan mengikuti jejaknya.
3.      Penjaminan hak-hak asasi manusia.
Usah-usaha dibidang bantuan hukum serta usaha-usaha untuk memperjuangkan nasib rakyat afrika tengah dan hak-haknya  perlu dilakukan dan dirumuskan dalm hukum sehingga pelaksanaan dan pelanggarannya dapat dituntut. Seperti kebebasan untuk mengungkapkan diri, menyampaikan pendapat  sebagai kritik atau kontrol terhadap situasi yang merongrong martabat manusia, perlindungan terhadap ancaman dan tekanan, semuanya dimaksud supaya manusia semakin mendapatkan wajahnya yang manusiawi.
4.      keadilan sosial
Usaha untuk mnegubah dan mengatasi situasi-situasi yang rawan konflik, disisi lain dilihata sebagai usaha menciptakan perdamaian dan perkembangan. Sasaran bagi perdamain yaitu tidak adanya kekerasan personal dan terciptanya keadilan sosial sama pentingnya, mengingat jumlah penderita dan bahaya yang begitu besar yang disebabkan baik oleh suku/etnis maupun pemerintah.
Menurut franz magnis suseno, membangun keadilan sosial berarti mengubah struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat yang tidak adil yang mencakup bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan ideologi. (azyumardi azra, konflik baru antar peradaban).
Keempat usaha diatas merupakan bebrapa faktor yang perlu diterapkan untuk menyelasaikan masalah konflik yang sering muncul dalam suatu masyarakat, maupun negara. Tetapi untuk negara Afrika, khusunya Afrika Tengah solusi yang ditarwarkan diatas belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang ada disana. Untuk itu resolusi untuk mengatasi konflik di negri tersebut adalah:
1.      harus ada usaha yang kongkrit untuk memperbaiki hubungan antar suku.
2.      perjuangan kemerdekaan.
3.      menggunakan dunia internasional sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik baik antar suku maupun antar negara.
4.      penegakan hukum yang kuat dan adil.
5.      pengelolaan sumber daya alam yang selama ini tidak memberikan keuntunan kepada rakyat dan negara karena campur tangan asing harus dihilangkan.

KESIMPULAN
A.    konflik identik dengan kekerasan, penindasan, dan pertikaian. Baik itu secara fisik maupun non fisik. konflik adalah suatu pertentangan atau perdebatan, yang diungkapkan, antara paling sedikit dua pihak yang saling tergantung, dimana mereka saling mempersepsikan adanya ketidaksesuaian tujuan, ketiadaan tingkah laku (imbalan) yang menyenangkan, dan adanya campur tangan pihak lain dalam mencapai tujuan.
B.     Konflik yang terjadi di Afrika, khususnya di Afrika tengah tidak lain dan tidak bukan disebabkan karena :
  1. Masalah kepemilikan tanah yang berlarut-larut, kesenjangan ekonomi dan sosial serta benturan revolusi kebudayaan.
  2. Banyaknya perjuangan-perjuangan terhadap kesetaraan.
  3. Persaingan antar kelompok-kelompok etnis yang berbeda.
  4. Politik para penguasa yang tidak berpihak pada rakyat.
C. resolusi untuk mengatasi konflik tersebut yaitu:
1.      harus ada usaha yang kongkrit untuk memperbaiki hubungan antar suku.
2.      perjuangan kemerdekaan.
3.      menggunakan dunia internasional sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik baik antar suku maupun antar negara.
4.      penegakan hukum yang kuat dan adil.
5.      pengelolaan sumber daya alam yang selama ini tidak memberikan keuntunan kepada rakyat dan negara karena campur tangan asing harus dihilangkan.

-    Azra azyumardi, 2002 ” konflik baru antar peradaban ”. Raja grafindo persada, Jakarta.
-    Anwar dewi Fortuna, 2005 ” Konflik Kekerasan Internal ” Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
-    Bertram Christoph,  1988 ” Konflik Dunia Ketiga ”  Melton Putra, Jakarta.
-    Grolier, 2003 ” Negara dan Bangsa ”  Jilid 2 Edisi 7. Ikrar Mandiri Abadi. Jakarta.
-    Harry Kawilarang, 1984 ” Dunia Ditengah Kemelut ” Universitas Indonesia. Jakarta.
-    Miall Hugh, 2000 ” Resolusi Damai Konflik Kontemporer” Raja Grafindo Persada, Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar