Rabu, 29 Desember 2010

Keruntuhan Negara-Negara Di Indonesia


Monopoli perdagangan di Nusantara sebelumnya dikuasai oleh kerajaan-kerajaan tertua yang berada di Indonesia. Kontak perdagangan asing turut melibatkan pula perdagangan yang ada di Indonesia karena di dukung oleh daerahnya yang sangat strategis. Kontak perdagangan antara cina dan India dikuasai oleh Sriwijaya yang merupakan Negara perdagangan yang besar. Banyak bangsa yang datang ke Indonesia, terutama Cina. Sayang Sriwijaya tidak meninggalkan jejak-jejak sejarah, berupa monomen-monomen asitektur yang besar dan karya-karya sastra kepada kita.
Pada abad ke 17 datanglah pedagang-pedangan nusantara, yang merupakan pemengang kekeuasan perdagangan di Nusantara. Perahu dangang Belanda pertama di bawah Cornelis Houtmen berhasil berlabuh di Banten pada tahun 1596 M. Kedatangan pedangang Belanda ini semula menimbulkan kecurigaan dikalangan pedangan pribumi sehingga hubungan diantara mereka tidak lancar. Namun demikian dengan banyaknya perahu-perahu dagang dari badan-badan dagang Belanda disitu, hubungan antara penguasa maupun pedangang pribumi dengan mereka menjadi biasa. Untuk menghindarkan persaingan antara badan-badan Belanda, baik dalam pembelian di daearah Malaku maupun daerah penjualan di Eropa maka atas prakarsa Johan Van Oldeenbarneld dibentuklan persekutuan dagang dengan nama Verenigde Oost-Indische Company (VOC).
Keberadaan VOC kemudian memperluas wilayah kekuasaannya di nusantara. Sejak permulaan abad ke -19 daerah jajahan itu telah berada dalam kekuasaan pemerintah Belanda, yang diwakili oleh gubernur Jendral di Batavia. Daerah jajahan akan dimamfaatkan untuk sumber pemasukan keuangan pemerintah Belanda. Perlu mendapatkan pemasukan uang dengan jalan mengexploitasi hasil produksi tanah jajahan yang dapat di jual di Eropa. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah Belanda untuk menerima ide system tanam paksa (Culture stelsel) yang diajukan oleh J. Van Deen Bosch, yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral.
Rakyat pribumi merasa bahwa system culture stelsel ini lebih memberatkan dan membuat rakyat sengsara dibandingkan dengan keberadaan VOC, sebab system ini lebih menguntungkan pihak penguasa dalam hal ini adalah Belanda. Untuk itu muncul reaksi dari masyarakat pribumi untuk melawan kolonialisme dan berusaha melepaskan diri dari kesengsaraan yang mereka alami. Dengan demikian timbullah perlawanan dari rakyat, yaitu pergerakan Budi Utomo. Setelah itu di beberapa daerah di nusantara muncul pula perlawanan-perlawanan dari bangsa pribumi untuk melawan kolonialisme, antara lain perlawanan kaum padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Cerdik, Tuanku Damasiang dan lain-lainnya. Kemudian perlawanan pangerang Diponegoro insiden pemasangan tonggak jalan pada tanggal 20 Juli 1825 merupakan sebab langsung perlawanan Diponegoro. Tidak hanya itu perlawanan muncul pula di daerah Aceh, perlawanan di Aceh bagi Belanda termasuk perlawanan yang terberat. Didaerah Aceh Barat peranan Teuku Umar cukup berat dan Teuku Cik Ditiro mengobarkan perlawanan di seluruh daerah Didie

  1. Keadaan Indonesia Abad XIX- Awal Abad XX.
 Pedangang-pedangang Belanda mendapat keuntungan banyak berkat perdagangan di Nusantara. Untuk sementara penguasa-penguasa pribumi memandang mereka sebagai parner berdagang yang saling menguntungkan. Namun lambat laun nampak bahwa pedagang–pedagang Belanda mencoba mendesak pedagang yang lain, baik pedagang asing dari luar nusantara maupun pedagang-pedagang dari suku-suku nusantara sendiri, seperti pedagang Jawa, Melayu, Bugis, Makassar, Banjar, Bali dan lainnya. Pedagang Belanda berusaha keras untuk memperoleh monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Penguasa-penguasa pribumi yang menentang kehendak Belanda itu di serang dan daerahnya diduduki.
Pulau Banda diduduki oleh Belanda pada tahun 1621 (11 Maret ), dan sebagai penguasa lain yang berdagang di situ. Usaha mempengaruhi penguasa pribumi dikawasan-kawasan lain  di Nusantara seperti di Makassar, Banjarmasin, Jawa Tengah, Jawa Barat dan lainnya. Penentangan penguasa-penguasa pribumi terhadap usaha penaklukan Belanda merupakan sejarah yang panjang dan dalam kurung waktu yang berbeda-beda. Pemenangan dan penguasaan Belanda  atas daerah-daerah atau  kawasan-kawasan di Nusantarapun berlangsung secara lambat laun, meskipun sejak dasawarsa ketiga abad ke 17 beberapa daerah maluku telah direbut oleh Belanda. Namun disamping itu daerah Aceh masih tetap merupakan di daerah merdeka di bawah kesultanan Aceh sampai permulaan abad ke 20. namun menjelang abad ke 19, Negara-negara ini satu persatu berjatuhan ketangan VOC dan kemudian di perintah Hindia Belanda.
VOC adalah kongsi dagang yang didirikan pada tahun 1602 dengan mendapat hak-hak kedaulatan ( hak-hak kenegaraan ) yaitu :
  1. Mengadakan perjanjian dengan negara lain.
  2. Hak memerintah daerah di luar Nedeerland dan mendirikan badan pengadilan.
  3. Hak membentuk tentara dan mendirikan benteng.
  4. Hak mengeluarkan dan mengedarkan mata uang.
Peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia ialah J. V. Coem. Gubernur Jendral pada tahun 1619-1623. Yang membangun kota Batavia pada tahun 1619 menjadi pusat kegiatan VOC di Asia. Semula kota ini bernama Jayakarta dan merupakan bagian dari kerajaan Banten.
Sejak berdirinya VOC atau kongsi dagang India Timur pada tahun 1602, memang sudah merupakan tanda keterpurukan rakyat Indonesia karena persekutuaan dagang ini mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799 karena mengalami kerugian besar.
Bagi bangsa Indonesia abad ke-19 adalah abad Culture Stelsel, dimana orang Indonesia tetap sengsara bahkan lebih sengsara dari pada di masa VOC. Culture Stelsel adalah istilah resmi pengganti cara produksi yang tradisional, dengan cara produksi yang rasional. Sedang tanam paksa adalah istilah dari kaum liberal, yang anti culture stelsel, usaha pemerintah yang dalam pelaksanaannya menggunakan cara paksaan. Adapun perubahan dalam kehidupan rakyat Indonesia akibat pengaruh pemerintah colonial di Hindia Belanda, meliputi berbagai aspek antara lain, perubahan politik, perubahan ekonomi dan perubahan sosial.

  1. Gerakan Persatuan
 Pengaruh dari kebijakan kolonial yang mengakibatkan penderitaan rakyat, ternyata menimbulkan persatuan dari rakyat Indonesia salah Satu gerak persatuan tersebut adalah berupa gerakan protes kaum petani, penyebab munculnya gerakan ini tidak berbeda dari geraka-gerakan persatuan laiinya, dimana pemerintah kolonial dan penguasa pribumi
atau petani untuk membayar cukai dan kerja rodi serta tindakan perbudakan yang memberatkan rakyat (Sagimun. 1966 Hal 15).
Gerakan persatuan ini kemudian berkembang pada awal abad 20 dimana pada saat terselanggaranya pendidikan baik oleh pemerintah kolonial maupun perguruan kebangsaan Indonesia telah melahirkan kalangan terpelajar yang sadar akan nasib bangsanya. Golongan terpelajar inilah yang memplopori pergerakan nasional di Indonesiaa yang ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo ( Moedjimo. 1938; Hal 25-27).
Organisasi Budi Utomo merupakan organisasi pertama yang ada di Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan yang besar artinya ialah Budi Utomo, badan ini didirikan di Jakarta pada tanggal 20 mei 1908. Organisasi ini didirikan oleh mahasiswa- mahasiswa stovia ( sekolah untuk mendidik dokter-dokter pribumi) antara lain; Sutomo, Gunawan, Suraji, dan sebagainya. Dengan adanya organisasi budi Utomo ini menyebabkan berdirinya beberapa organisasi di Indonesia yang menentang penjajahan, diantaranya ialah Indisce vereniging ( perhimpunan India), Indisce Partij, Sarekat dagang Islam,dan Perguruan Muhammadiah.
 
  1. Perlawanan Suatu Bangsa
 Dalam uraian mengenai tanggapan penguasa-penguasa pribumi terhadap pedagang kompeni dimuka telah dijelaskan bahwa kekusaan kompeni yang kemudian diambil oleh pemerintah Belanda didaerah jajahan, makin lama makin kuat. Wilayah-wilayah kerajaan makin menyusut dan dimasukan dalam kekuasaan Belanda. Meskipun kekuatan pribumi ditahan oleh kekuatan asing kolonial, namun ini tidak berarti bahwa tidak mungkin lagi timbul perlawanan. Kenyatan sejarah menunjukan bahwa diberbagai daerah yang telah dikuasai Belanda pernah timbul perlawanan berupa perang besar ditujukan pada pemerintah Belanda yang dianggap sebagai penyebab kesengsaran rakyat dan merosotnya kekuasaan pribumi. Setelah terbentuknya gerakan-gerakan persatuan dalam tubuh raktar Indonesia untuk mengusir penjajah, akhirnya rakyat yang telah menderita ini memantapkan pencapain tujuannya dalam bentuk perlawanan-perlawanan.      
Maka dari itu, pada abad 19 munculah perlawanan-perlawanan umum, diseluruh tanah air. Pemicu munculnya perlawanan-perlawanan seperti ini telah disebutkan diatas karena perebutan tahta tetapi karena membela hak asasi dan tanah air. Peperangan itu ada yang berlangsung lama dan ada pula yang berlangsung dalam waktu singkat, tergantung dari kekuatan dan perlengkapan pihak yang mengadakan perlawanan. Perlawanan Thomas Matulesi di Maluku berlangsung tahun 1857, perlawanan kaum Padri di Sumatra Barat berlangsung antara tahun 1821-1837, meskipun diantaranya terdapat masa tenang, perang Diponegoro di Jawa Tengah berlangsung selama lima tahun (1825-1830), perang Banjar di Kalimantan Selatan terjadi pada tahun 1859-1905, perang Bali Utara pada tahun 1846-1825, sedangkan perang Aceh berlangsung antara tahun 1873-1904.
Untuk memperoleh gambaran lebih jelas dibawah ini akan di berikan uraian singkat mengenai perang melawan kolonialisme yang terjadi di berbagai daerah di Nusantara.
  1. Perlawanan Thomas Matullesi (1817)
Sejak abad ke-17 rakyat Maluku telah berhubungan dengan Belanda. Usaha untuk memperoleh monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku Selatan akhirnya di lakukan oleh Belanda dengan kekerasan senjata. Sedikit demi sedikit daerah kepulauan Maluku Selatan dikuasai Belanda. Tindakan kompeni memerintahkan semaunya penghancuran dan penanaman kembali pohan pala dan cengkeh menurut turun dan naiknya harga pasar sangat memberatkan rakyat.
Perlawanan dimulai pada tanggal 14 Mei 1817 diberbagai tempat terjadi pertempuran malam hari menjelang tanggal 16 Mei 1817 pasukan rakyat mengepung benteng Belanda dan pagi harinya benteng itu dapat direbut. Sementara itu pertempuran masih berkobar dimana-mana, dengan susah payah setelah terjadi pertempuaran sengit pada tanggal 2 Agustus 1817 Belanda merebut kembali benteng itu. Sejak itu kekuatan pasukan Tomas Matulessi mulai berkurang berturut-turut daerah Tiow, Siriori, Ulat dan Ow jatuh ketangan Belanda. Tertangkapnya pemimpin-pemimpin rakyat seperti Thomas Matulesi melumpuhkan perjuangan rakyat Maluku sekitar tanggal 16 Desember 1817 menurut keputusan pengadilan Belanda Thomas matulesi dan kawan-kawannya dijatuhkan hukuman mati.
  1. Perang Padri
Penyebaran agama Islam  di daerah Minangkabau dilakukan oleh Syehk Buhanuddin sekitar permulaan abad ke 18, kedatangan agama baru ini cukup menggelisahkan kaum adat. Sehingga permulaan abad ke 19 aturan menurut Islam dan aturan adat masih hidup berdampingan dengan baik. Namun keadaan mulai berubah setelah kedatangan kembali 3 orang haji berasal dari Minangkabau pada tahun 1903, ialah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang. Para Haji ini beserta pengikutnya yang dikenal dengan nama kaum padri mencoba untuk memperbiki masyarakat Minangkabau yang inilah telah menyimpan dari ajaran agama Islam kebiasaan jelek akan diberantas.  
Waktu Haji Miskin melarang penyabungan ayam di Pandai Sikat timbullah reaksi dikalangan kaum adat Haji Miskin menghimpun para pengikut, keadaan semakin tegang dan pertempuran akhirnya takkan dapat dihindarkan lagi. Pertempuran terjadi di Lahan panjang, tanah datar dan lainnya. Pasukan kaum Padri antara lain dipimpin oleh Datuk Bandari dan Tuanku Passaman. Pertentangan kaum padri dan kaum adat mengalami perkembangan baru setelah adanya campur tangan dari pihak kekuasaan asing.
Awal mula munculnya pertempuran antara kaum padri dengan kaum adat karena pada awal abad ke -19 di daerah Sumatera barat muncul gerakan Wahabia, kelompok pendukung gerakan ini dikenal dengan kaum padri. Gerakan ini ditentang oleh kaum adat yaitu kelompok penghulu yang menganggap dirinya turunan raja-raja Minangkabau. Ternyata para kaum adat mendapat dukungan dari pemerintah kolonial Belanda. Akhirnya pada tahun 1821 diadakan suatu perjanjian, dimana pasukan Belanda menduduki beberapa daerah di Sumatera Barat. Peristiwa ini menandai mulainya perang padri yang dipimpni oleh Tuanku Imam Bonjol.
Perang padri terdiri dari dua bagian, perang padri pertama dimulai tahun  1821-1825 yang ditandai serangan kaum padri di pos-pos Belanda dan pasukan patroli mereka menjadi sasaran penyerangan kaum padri yang dipimpin oleh Tuanku Passaman, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Cerdik, dan lain-lain. Pada tanggal 22 Januari 1824 disepakati perjanjian perdamaian di Bonjol dengan Belanda, tetapi perjanjian itu dilanggar oleh pihak Belanda sehingga muncul perlawanan lebih dahsyat dari kaum padri. Setahun kemudian disepakati kembali perjanjian perdamaian di Padang yang menandai berakhirnya perang padri pertama.
Pada tahun 1830 pasukan Belanda mendirikan pos di wilayah kekuasaan kaum padri, peristiwa ini mengalami perang padri kedua, pada periode ini tampak makin kurangnya kekuatan kaum padri. Pertahanan kaum padri disebelah utara Tanjung Alam mendapat serangan pasukan Belanda. Pada akhir tahun 1834 Belanda memusatkan kekuatan militernya untuk menyerang Benteng Bonjol, pertahanan terkuat kaum padri. Benteng ini mulai dikepung dari berbagai jurusan. Dalam pertempuran sengit yang
terjadi pasukan padri tampak makin tidak berdaya dan akhirnya menyerah. Penyerahan Tuanku Imam Bonjol dengan pasukannya pada tanggal 25 Oktober 1837 menyebabkan lumpuhnya perlawanan kaum padri.

  1. Perang Diponegoro (1825-1830)
Sejak permulaan abad ke -19 pengaruh Belanda di dalam kerajaan Surakarta dan Yogyakarta makin kuat. Baik Daenleds maupun Rafles berusaha untuk mengendorkan ikatan tata cara keraton baik orang asing. Besarnya pengaruh Belanda terhadap Sultan dan maksudnya kebisaan asing, seperti peredaran minuman keras di kalangan bangsawan istana menggelisahkan sementara para bangsawan yang taat menjalankan keamanan diantaranya, Pangeran Diponegoro dan juga para Ulama.
Kegelisahan tersebut merupakan latar belakang timbulnya perlawanan Diponegoro. Selain itu juga disebabkan karena rakyat dibelit oleh berbgai bentuk pajak dan pungutan yang menjadi beban turun temurun, ketidak pedulian pihak kraton, terhadap nasib rakyat, oleh Belanda Diponegoro dianggap membahayakan karena kekecewaannya terhadap pemerintah kerajaan, jalan yang akan di bangun oleh Belanda dan melintas ditanah makam leluhur Diponegoro menimbulkan tangtangan keras dari pangeran tersebut. Insiden pemasangan tonggak jalan pada tanggal 22 Juli 1825 merupakan sebab langsung perlawanan Diponegoro. Dengan tersangkunya Pangeran Diponegoro dari elit kekuasaan karena ia menolak bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Selain itu, tindakan Belanda dianggap sudah melewati batas kesabaran rakyat Yogyakarta ketika mereka melakukan profokasi dalam proyek pembuatan jalan yang menerobos tanah milik Pangeran Diponegoro dan membiongkar makam keramat. Pada tanggal 10 Juli 1825 terdengar dentelman meriam Belanda sebagai tanda dimulainya perang Diponegoro.
Jalannya perang ini sekekita secara serentak pasukan Diponegoro yang berpusat di Selarong, menyerang Belanda di berbagai tempat di Jawa Tengah dan Jawa timur. Kemenanganpun dapat diraih Diponegoro beserta pasukannya. Untuk mengatasi perlawanan rakyat yang gencar ini, pasukan Belanda menjalani strategi Benteng Stelsel dimana Belanda pada Tahun 1827 tidak banyak mendapat kemenanngan. Dimana setiap tempat yang dikuasai Belanda, mereka dirikan Benteng, antar Benteng dihubungkan dengan jalan untuk memudahkan komunikasi dan gerak pasukan. Tujuan Belanda menggunakan Benteng Stelsel yaitu untuk memudahkan mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro.
Untuk mempercepat selesainya perang, Belanda mulai mendekati pemimpin pasukan Diponegoro. Perundingan yang diadakan antara kedua belah pihak pada tanggal 19 Agustus dan 23 Agustus 1827 tidak membawa hasil, pertempuran berkobar lagi. Pasukan Diponegoro makin lemah dengan tertangkapnya pangeran Surya Mataram (19 Januari 1827) Pangeran Serang dan Pangeran Natapraja (21 Juni 1827), oleh pasukan Belanda. Akhirnya pasukan Diponegoro terdesak tahun 1827, Pangeran Diponegoro mau berunding dengan Belanda. Perundingan yang di adakan pada tanggal 28 Maret 1830 mengalami kegagalan dan pada waktu itu pula Diponegoro ditangkap. Ia di bawah ke Batavia dan di asingkan ke Manado dan selanjutnya di pindahkan ke Makassar sampai saat meninggal (8 Januari 1855). Dengan ditangkapnya Diponegoro maka perlawanan di Jawa Tengah dapat dipadamkan oleh Belanda.
         
  1. Perang Aceh
Perang ini berkobar karena marahnya rakyat Aceh terhadap sikap pemerintah Belanda. Dimana satu demi satu wilayah kekuasaan Aceh di Sumatra Utara jatuh ketangan Belanda karena mereka melancarkan agresinya ke Aceh. Sebab lainnya adalah dengan dibukanya terusan suez menjadikan Aceh semakin strategis dalam perdagagan internasional, sehingga membuat Belanda berambisi menguasai Aceh. Kemudian pada tanggal 2 November 1871, Inggris dan Belanda bersepakat dalam Traktat Sumatra, salah satu isi Traktat tersebut adalah Belanda memperoleh kebebasan memperluas kekuasaannya di Aceh serta untuk mengadakan ekspansi termasuk kedaerah kesultanan Aceh. Hal ini menyebabkan Aceh merasa terancam kedaulatannya.
Situasi hubungan Aceh dan Belanda menjadi makin buruk. Pasukan berjumlah besar oleh Belanda telah dikirim ke Aceh dan tiba di pantai Aceh pada tanggal 5 April 1873, pertempuran segera meletus. Muncullah laskar-laskar yang dipimpin oleh orang-orang yang anti Belanda seperti antara lain Panglima Polem, untuk mewujudkan ambisinya itu, Belanda memberikan ultimatum agar mengakui kedaulatan pemerintahan kolonial pada rakyat Aceh. Namun ultimatum tersebut di tolak oleh rakyat Aceh. Kemudian empat hari setelahnya, Belanda mengumumkan perang kepada Aceh dan mulai berkobarlah perang. Adapun para pemimpin yang mengarahkan rakyat Aceh untuk melawan pemerintahan kolonial adalah Panglima Polem, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan para tokoh yang memberikan pengaruh lainnya.
Perang Aceh memakan waktu 31 tahun, pada awal perang ini, Belanda tampak lebih unggul dengan merebut Masjid Raya Baiturrahman. Menjelang akhir tahun 1877 Belanda juga berhasil merebut istana Kota Raja. Tetapi hal ini tidak dapat memukul rakyat Aceh karena mereka menggunakan taktik perang gerilya. Adanya medan pertempuran yang tersebar didaerah-daerah menyadarkan pemerintah Hindia-Belanda bahwa rakyat Aceh cukup sulit untuk ditundukkan. Akhirnya Belanda mendapat cara jitu untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh dengan memecah belah kalangan ulama dan ule balang (bangsawan). Ternyata cara ini berhasil, sejak tahun 1858 kedudukan aceh semakin terdesak yang ditandai dengan penagkapan para panglima perang dengan demikian berakhirlah perang Aceh. (sajimun, 1986:hal 9-12).


-          Akira Nagazumi. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908-1918. Jakarta : PT. TEMPRIN
-          A. K. Pringgodigdo SH. 1991. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: PT. DIAN RAKYAT.
-          Drs. G. Moed Janto, M. A. 1988. Indonesia Abad Ke-20 I Dari Kebangkitan Nasional sampai Lingga Jati. Yogyakarta: KANISIUS
-          Drs. Sudio. 2002. Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: PT. ADI MAHASTYA.
-          Rickfles, M. C. 1991.  Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: GDAJAH MADA UNIVERSITI PERSS
-          Sagimun. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: INTI INDAYU PERSS
-          Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional ( LRKN)- LIPI. 1984. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Jakarta: ANNGOTA IKAPI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar