Senin, 27 Desember 2010

Tokoh "Asrul Sani"

 Asrul Sani adalah sastrawan angkatan 45, Dia salah satu pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Dalam sepucuk esainya mengenai puisi Angkatan 45, dia menulis: Kita harus sampai pada puisi gigantis yang menyeluruh sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi yang mempunyai sumber pada serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia. Dalam puisi ini emosi hanya pendorong ’perasaan’ yang dialami penyair untuk dirasakan penikmat. Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggung jawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan.
Pada tahun-tahun awal karirnya sebagai penulis skenario, Asrul Sani memang bersemangat mendasarkan skenarionya pada sebuah gagasan/konsep. Filmnya selalu hadir dengan gagasan. Dengan gagasan, ia membuat skenario dengan gaya bercerita modern. Dalam studi film, skenario-skenario Asrul Sani sangat mengikuti apa yang disebut narasi klasik Hollywood. Dalam narasi klasik Hollywood, logika dibangun di atas drama tiga babak Aristotelian (pembukaan, persoalan, penyelesaian/penutup). Sistem narasi ini ditandai terutama oleh karakter individual, ruang dan waktu yang jelas, sebab dan akibat yang jelas, cita-cita protagonist menggerakkan plot, konflik yang dibangun atas dasar motivasi psikologis, dan penutup. Unsur-unsur ini hampir bisa dikatakan tidak ada dalam film-film Indonesia praperang (bahkan mungkin sekarang).
Asrul Sani sangat menyukai konflik-konflik psikologis dengan protagonist kebanyakan kelas menengah berpendidikan baik (guru, kyai, wartawan, penulis, kapten, dll). Dalam dialog-dialog yang disusunnya, ia selalu menggunakan bahasa Indonesia yang sangat ekspresif. Dalam film-film perjuangan yang ditulisnya, bahasa yang digunakan cenderung bercorak propagandis dan pedagogis. Hal ini berasal dari tradisi sastranya yang kuat dan kondisi Indonesia saat itu yang baru saja merdeka. Dalam menulis puisi, Angkatan 45 termasuk dirinya percaya bahwa bahasa adalah alat ekspresi dan buah pikiran sang pengucap. Angkatan ini meneruskan apa yang dilakukan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (Pujangga Baru) dengan 'menghancurkan' kaidah dan bentuk baku bahasa yang menjadi tradisi Balai Pustaka.
A. BIOGRAFI
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926 adalah seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (1955). Pernah mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul Sani pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).
Asrul Sani pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta (seumur hidup).
Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.
Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.
Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.
Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.
Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan’.
Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.
Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.
Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.
Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.
Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.
Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya. 
B. KARYA ASRUL SANI
Beberapa karya Asrul Sani antara lain:
1.      Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950).
2.      Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972),
3.      Mantera (kumpulan sajak, 1975).
4.      Mahkamah (drama, 1988).
5.      Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988).
6.      Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997).
Di samping menulis sajak, cerpen, dan esai, Asrul Sani juga dikenal sebagai penerjemah dan sutradara film. Terjemahannya antara lain:
1.      Laut Membisu (karya Vercors, 1949).
2.      Pangeran Muda (terjemahan bersama Siti Nuraini; karya Antoine de St-Exupery, 1952).
3.      Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (karya Ricard Boleslavsky, 1960).
4.      Rumah Perawan (novel Yasunari Kawabata, 1977).
5.      Villa des Roses (novel Willem Elschot, 1977).
6.      Puteri Pulau (novel Maria Dermount, 1977).
7.      Kuil Kencana (novel Yukio Mishima, 1978).
8.      Pintu Tertutup (drama Jean Paul Sartre, 1979).
9.      Julius Caesar (drama William Shakespeare, 1979).
10.  Sang Anak (karya Rabindranath Tagore, 1979).
11.  Catatan dari Bawah Tanah (novel Fyodor Dostoyeski, 1979).
12.  Keindahan dan Kepiluan (novel Yasunari Kawabata, 1980).
13.  Inspektur Jenderal (drama Nicolai Gogol, 1986).
Film yang disutradarainya, antara lain:
1.      "Pagar Kawat Berduri" (1963).
2.      "Apa yang Kau Cari, Palupi" (1970).
3.      "Salah Asuhan" (1974).
4.      "Bulan di Atas Kuburan" (1976).
5.      "Kemelut Hidup" (1978).
6.      "Di Bawah Lindungan Kaabah" (1978), dan lain-lain
Berikut ini sedikit dari begitu banyak karya Asrul sani:
Anak Laut

Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan

Pair dan air seakan
Bercampur. Awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru

Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan
daku

Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya”

Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
Kekasih yang Kelu
Air mata, adalah sekali ini air mata dari hati
yang mengandung durja,
Dan kelulah kekasih senantiasa berpisah
Tiadalah lagi senyum yang akan timbul karena suatu kemenangan
Habislah segala kenangan-selalu pada fajar-selalu
yang membawa harap.

Sudah tahu, suatu kesalahn sekali,
Telah merobah titik asal harap,
Dan karena gelombang yang memukul tinggi
dengan segala rahasia dan senjata yang ada dalam kerajaannya
Telah jadikan suatu cinta yang marak-hidup lepas dari lembaga
Dan gamitan tangan dan mata berhenti pada suatu keluh
sedan dari jiwa yang lberduka.

Bangunlah kekasih, berilah daku bahagia,
Dari segala cahaya yang ada padamu.
Bagiku, keluhan yang lama akan
Mematikan segala tindakan,
Membuat lagak tidak punya tokoh
Ucapan kehilangan asal dan bekas
Serta ini pulau-banyak dan intan laut yang kukasihi,
Akan menjadi suatu bencana dari kelumpuhan orang berpenyakit pitam

Aku akan hilang-lenyap, tiada meninggalkan nama.
Suatu sedih sangsai dari diriku,
Atas suatu panggilan dengan suara kecil
Dari laki-laki di depan laut di belakang gunung.

Berikan suatu pekikan peri,
Dan ini akan lebih membujuk
Dari suatu mulut terbuka, tapi tiada berkata.
Air mata yang terbayang, tetapi tiada berlinang
Dari suatu kebisuan, dari suatu kebisuan

Jika ini adalah suatu impian,
Maka janganlah bermimpi,
bagaimanapun terang malam.
Sedang daku akan berjaga,
sampai sosok tali dantiang
tergantung pada sinar pagi yang timbul.

Suatu khianat yang telah memakan cinta
suatu kebakhilan manusia yang enggan beryakin
suatu noda,
Dan suatu derita dan keluh uang mengelu
......................
demikianlah sahabat mari berdoa,
mari berdoa,
kita akan berdoa,
kita akan berdoa, kita akan berdoa
kita akan berdoa, untuk pagi hari yang akan timbul

Lagu daripada Pasukan Terakhir
Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
bimbang telah datang pada nyala
langit telah tergantung suram
kata-kata berantukan pada arti sendiri.
Bimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati atau tiada mati-matinya

 Jendral, bapa, bapa,
tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
akan hilang ditup angin, karena
ia berdiam di pasir kering
 Jenderal, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia.
Jendral, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta kepada bumi ini

Ah mengapa pada hari-hari sekarang, matahari
sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumi.

Jendral, mari Jendral
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan,
engkau bersama kami, engkau bersama kami,
Mari kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
mari jendral mari
sekali in derajat orang pencari dalam bahaya,
mari jendral mari jendral mari, mari.......

Orang Dalam Perahu
Hendak ke mana angin
buritan ini membawa daku
sedang laut tawar tiada mau tahu
dan bintang, tiada
pemberi pedoman tentu
Ada perempuan di sisiku
sambil tersenyum
bermain-main air biru
memandang kepada panji-panji
di puncak tiang buritan
dan berkata
"Ada burung camar di jauhan!”

Cahaya bersama aku
Permainan mata di tepi langit
akan hilang sekejap waktu
Aku berada di bumi luas,
Laut lepas
Aku lepas
Hendak ke mana angin
buritan membawa daku

Mantera
Raja dari batu hitam,
di balik rimba kelam,
Naga malam,
mari kemari !
Aku laksamana dari lautan menghantam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, aku kenal bahagia
tiada takut pada pitam,
tiada takut pada kelam
pitam dan kelam punya aku
Raja dari batu hitam,
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari !
Jaga segala gadis berhias diri,
Biar mereka pesta dan menari
Meningkah rebana
Aku akan menyanyi,
Engkau berjaga dari padam api timbul api.
Mereka akan terima cintaku
Siapa bercinta dengan daku,
Akan bercinta dengan tiada akhir hari
Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari
Mari kemari,
  Mari !
C. PANDANGAN TERHADAP ASRUL SANI
·         Slamet Rahardjo
Hampir tiga tahun sang maestro Asrul Sani berpulang ke Rahmatullah, namun kenangan terhadap dirinya masih terus membekas di hati aktor senior dan sutradara Slamet Rahardjo. Slamet adalah salah satu murid Asrul Sani di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada 1968. Asrul Sani yang saat itu menjadi dosen di ATNI cukup disegani para dosen lainnya.
Bagi Slamet Rahardjo, Asrul Sani bukan hanya seorang guru yang hebat melainkan juga kritikus yang handal. Dia mampu mencermati sebuah masalah dan menolak untuk mempersempit ruang pemikirannya dengan hanya memilih salah satu sudut pandang saja. Dia tidak memakai kacamata kuda dalam melihat segala sesuatunya, namun ia memiliki pandangan rajawali yang melihat segala sesuatu dari atas sehingga tampak konfigurasi permasalahan. Beliau sangat sadar hakekatnya untuk memahami dimensi pengertian sebuah disiplin ilmu. Asrul Sani telah menginspirasi Slamet untuk terus berkembang dan maju dengan kritikannya yang membangun.
·         Taufik Ismail
Taufik Ismail yang merupakan teman Asrul Sani ketika  menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan memuji kecerdasan esai-esai Asrul Sani. Bahasa Indonesianya juga bagus. Caranya menyusun alinea dan paragraf di dalam tulisan-tulisannya jelas. Satu hal lain yang Taufik sebutkan terhadap ciri Asrul adalah bahwa ilmu retorika penulis ini sangat tinggi sehingga kalau orang berdebat dengan seorang Asrul Sani tidak ada yang menang.
Asrul memang seorang yang produktif. Bahkan hingga wafatnya pada 11 Januari lalu, Asrul sedang menyiapkan tulisan untuk pidato dalam Pengukuhan Gelar Honoris Causa di dalam Sastra di Universitas Indonesia. sumbangsih dan peran besar seorang Asrul Sani yang memasukkan unsur sastra di dalam dunia film.
·         Deddy Mizwar
Deddy Mizwar melontarkan kesannya pada sang guru. Dia mengaku merasa berhutang jasa teramat besar pada sosok Asrul Sani. Dalam lontaran yang diucapkannya, dia mengatakan bahwa Asrul Sani memegang peranan penting dalam sejarah hidupnya. Menurutnya, bila mendapatkan tuturan dari seorang Asrul Sani, dia bisa mendapatkan nasihat yang tak ubahnya tiga buku tebal. Menurut Deddy, saat Asrul menceritakan tentang Chairul Umam dan Jallaludin Malik, dia pun seolah-olah bisa menghadirkan keduanya ada di sisi mereka.
·         Gus Dur
Gus Dur mengatakan bahwa dia hanya kenal beberapa sajak-sajak Asrul. seorangrang Asrul Sani telah mendidik dengan caranya sendiri, membuat puisi, menerjemahkan film, dan juga membuat karya. Bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, nama Asrul Sani sangat memberikan sumbangan terhadap dunia budaya khususnya kesusasteraan.
Gus Dur menyamakan dia dengan tokoh William Faulkner yang membuat hampir 200 novel.
·         Rima Melati
Rima Melati memberikan kesan pada Asrul Sani selaku adik generasi di perfilman, juga selaku teman dan sutradaranya. Dia begitu senang dengan Pak Asrul karena orangnya juga tak pernah memaksakan pendapat dalam hal peran. ”You do it, coba dulu. Begitu selalu kata Asrul. Saya dapat peran itu, so simple. 

Tim Penyusun. 1986. Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Jakarta: Pustaka Grafitipers

Soetrisno, Edi. 2001. Buku pintar Indonesia popular. Jakarta: Tramedia dan Restu Agung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar