A. GERAKAN RATU ADIL
1. Gerakan-Gerakan Keagamaan Di Jawa
Fenomena Ratu Adil agaknya tidak akan mungkin dibatasi oleh kurun waktu (temporal) dan wilayah (spasial) tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran tentang Ratu Adil merupakan ajaran yang secara kodrati melekat pada sistem kepercayaan masyarakat manapun dan dimanapun. Ini berarti pula bahwa pada hakekatnya Ratu Adil adalah sebuah ideologi. Hanya saja, istilah-istilah, model dan motif gerakan, serta ciri-cirinya akan berbeda-beda.
Sebagai sebuah ideologi, maka faham Ratu Adil (millenarianisme) atau juru selamat (mesianisme) dalam gerakan-gerakan keagamaan tidak mengalami kekurangan perhatian, dan mengenai hal ini terdapat sejumlah studi baik bersifat tekstual ataupun filologis. Dalam kebanyakan studi bentuk-bentuk ideologi dianggap sebagai inti penelitian. Tekanan lebih berat diletakan pada struktur-struktur ajaran Ratu Adil juru selamat dari pada pola-pola gerakan keagamaan. Perlu dijelaskan bahwa gerakan-gerakan keagamaan di jawa ini, terutama dilihat sebagai manifestasi dari gejala yang banyak diselidiki, yaitu mistisisme atau sufisme.
( Sartono Kartodirdjo, I992:9 )
Faham Ratu Adil merupakan ancaman yang sangat potensial bagi rezim kolonial. Sementara di pihak lain, terdorong oleh ketakutan pemerintahkolonial terhadap kekuatan-kekuatan spiritual (islamofobi) dan sesuai pula dengan politik devide at impera maka gerakan-gerakan tadi disamakan dengan gerakan revolusioner atau gerakan anti asing yang harus diberantas secara tuntas.
Gerakan-gerakan keagamaan yang kita bicarakan ini telah diberi nama dengan berbagai cara, yaitu gerakan juru selamat (mesianisme), Ratu Adil (milenarianisme), pribumi (nativisme), kenabian (prophetisme), penghidupan kembali ( ravitalisasi ). Istilah gerakan-gerakan keagamaan ini tidak selalu di gunakan melalui tingkat kaca mata yang sama atau melalui tingkat ketajaman konsepsi yang tinggi. Banyak gerakan sosial, termasuk kerusuhan, pemberontakan, sektarisme, dapat diklasifikasikan sebagai gerakan keagamaan, karena gejala-gejala tersebut pada umumnya cenderung berhubungan dengan gerakan-gerakan yang di ilhami oleh agama atau menggunakan cara-cara agama untuk mewujudkan tujuan-tujuan gaib mereka. Kebanyakan pergolakan tersebut cenderung mempunyai segi-segi yang bercorak keagamaam. Studi tentang gerakan-gerakan tentang keagamaan selama zaman kolonial dapat memanfaatkan sumber-sumber materi yang cukup dan di peroleh dari pejabat kolonial yang diserahi tugas, untuk mengurus pergolakan-pergolakan yang ada. Karena alasan-alasan yang jelas banyak perhatian dipusatkan pada gerakan-gerakan yang bersifat dramatis, gerakan-gerakan yang bercorak Ratu Adil merupakan ancaman yang sangat potensial bagi setiap kekuatan Rezim kolonial. ( Sartono Kartodirdjo,1992:10 )
Kecenderungan gerakan-gerakan keagamaan yang berkaitan dengan perubahan sosial telah sering di lihat, dan atas kecenderungan telah di ambil general isasi bahwa sumber-sumber yang datang dari luar merupakan dorongan yang utama bagi gerakan-gerakan keagamaan. Apa yang berulang kali kita hadapi adalah penindasan yang sudah tidak lazim terlalu kuat yaitu tentang pengaruh Barat. Dalam hal ini memang perlu diakui bahwa hal-hal yang bertalian dengan masyarakat yang tradisional dan zaman sebelum adanya kontak dengan barat, tidak banyak terdengar tentang kasus mengenai gerakan keagamaan. Ini terutama karena tidak adanya bahan-bahan dokumentasi. Tetapi kita sering menjumpai peninggalan-peninggalan lain yang menunjukan bahwa gerakan-gerakan keagamaan yang berwatak Revitalistic atau Milenarian yang serupa pernah terjadi. ( Sartono Kartodirdjo,1992:12 )
Unsur pokok dari gerakan keagamaan adalah seorang pemimpin gerakan keagamaan yang merupakan seorang prophet atau guru, dukun, tukang sihir, atau utusan Mesias. Pemimpin-pemimpin mengaku di ilhami oleh wahyu. Sebuah contoh yang baik adalah kasus Tambakmerang yang terjadi pada tahun 1935, di sini orang yang bernama Wira Senjaya menerima wahyunya setelah menjalani puasa selama 40 hari. Setelah menerima wahyu, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran, kemudian ia mulai menjalankan peranan sebagai mesias yang sedikit banyak di berikan oleh para pengikutnya kepadanya. Dalam kasus peristiwa Sarandakan dalam tahun 1924, seorang bernama Kramaseja mengaku sebagai penjelmaan Ratu Adil, sedangkan dalam peristiwa Tegalreja tahun 1889, seorang bernama Dulmajid bertindak selaku pendahulu Ratu Adil yang peranannya dilakukan oleh Pangeran Suryangalaga dari Yokyakarta, selain itu harus menyebutkan kasus nanggulan dalam tahun 1878, disini Sukadrana memainkan peranan sebagai Ratu Adil sebagaimana akan kita lihat seperti halnya dengan Wirasenjaya dari tambakmerang, Nyi Acia dari Malangbong harus berfungsi sebagai pusat gerakan yang bersifat simbolis, ia menjalakan peranan yang di berikan kepadanya oleh para pengikutnya. Kepemimpinan Nyi Acia itu sebenarnya tidak penting dan pengangkatannya untuk menempati kedudukan semacam itu tampaknya bersifat kebetulan. ( Sartono Kartodirdjo,1992:12 )
Sudah di ketahui secara umum bahwa dalam alam kebudayaan Jawa, harapan-harapan Milenarian yang tersembunyi sangat mendorong ke arah munculnya tokoh-tokoh Propehtik. Mereka itu kebanyakan adalah orang-orang terkenal sebagai ilmu, kiai, atau orang suci yang pada umumnya memiliki daya karisma. Elite keagamaan ini dapat mengutarakan dengan kata-kata harapan-harapan rakyat biasa, karena mereka kebanyakan merupakan pewaris dari tradisi-tradisi lisan atau tertulis, yang mereka lakukan adalah mengajukan teknik agama untuk mempercepat mengadakan selamatan, upacara - upacara agama - mistik lainnya, membagi - bagikan jimat, melakukan puasa, dan lain sebagainya. ( Sartono Kartodirdjo,1992:14 )
Kekuatan gaib para pemimpin agama ini terutama didasarkan pada pembawaan karisma yang mereka miliki, yang idenya pada umumnya ada dalam masyarakat Indonesia, dan secara umum dinamakan sebagai keramat, wahyu atau sakti. Dari alam kebudayaan Jawa ternyata bahwa unsur - unsur millenium sudah ada sebelum adanya dampak dari barat, mitos - mitos Hindu Jawa dan kepercayaan Erucakra rasanya dapat menunjukan bahwa harapan - harapan millenium itu sejak dulu telah ada masa kekuasaan Erucakra dihubungkan dengan millenium. Sebagaimana telah kita lihat berulang kali, para pemimpin gerakan-gerakan millenaristis atau gerakan-gerakan politik yang memiliki nada-nada millenium memakai nama Erucakra tidak perlu lagi dikatakan lagi, gerakan-gerakan semacam itu dengan cepat membuat para pejabat yang gelisah untuk memukul mereka sebenarnya, pandangan milenarian itu menimbulkan rasa dorongan yang mendesak di dalam gerakan dan pandangan itu menceburkan gerakan ke dalam demam kegiatan memberontak. Di samping itu perlu dicatat bahwa ramalan-ramalan tentang millenium sering berisi pula dengan unsur-unsur mengenai perubahan-perubahan yang telah terjadi sebagai akibat masuknya kekuasaan barat, seperti rasa permusuhan antara sesama bangsa. Diubahnya orang-orang Islam menjadi kafir, terpengaruhnya pejabat-pejabat keagamaan oleh orang-orang tak beriman, hilangnya rasa hormat kepada raja di mata rakyat biasa. Perubahan-perubahan ini dikatakan sebagai sumber dari gangguan-gangguan sosial. Tak mengherankan apabila orang membayangkan kembalinya masa lampau yang indah yang dapat di percepat oleh gerakan. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:15 )
Disinilah sistem kepercayaan menampakkan peran yang sangat besar dalam memotivasi suatu gerakan. Ide-Ide tentang perang suci secara luar biasa mendorong militansi dikalangan pemeluk agama (Islam), sehingga mereka dengan sukarela menyerang orang kafir dan semua situasi dan kondisi yang diciptakan oleh orang asing. Meskipun demikian, untuk dapat mengerti arti yang sebenarnya tentang gerakan keagamaan di Jawa, haruslah diperhatikan aspek nativistic mereka. Aspek ini menjanjikan datangnya bumi pertiwi yang telah pulih, tidak akan ada orang kulit putih, serta akan diperintah oleh dinasti lama.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gerakan-gerakan keagamaan pada umumnya menyandang watak reaksi total yaitu menolak kehadiran Eropa. Dengan demikian, milenarianisme pada asasnya berwatak revolusioner karena berkaitan dengan perombakan status quo secara total. Adapun alat yang dipakai sebagai dasar gerakan tersebut adalah agama, jadi sifatnya religius.
2. Dimensi Politik Radikalisme Agraria Di Jawa
Seiring dengan perkembangan kondisi-kondisi sosial politik, maka terjadi pula perubahan sifat dan pola ideologi dalam gerakan-gerakan pedesaan. Salah satu bentuk gerakan politik di desa adalah mobilitas kaum tani yang merupakan ungkapan paling baru dan dramatis dari keresahan agraria yang terjadi terus-menerus. Jika pada masa-masa silam gerakan-gerakan sosial mengandung sifat religius dan bertujuan melenyapkan orang asing dengan segala akibat yang ditimbulkannya, maka gerakan sosial pada akhir abad 19 dan abad 20 lebih dilatarbelakangi oleh keadaan-keadaan keagrariaan yang dirasakan tidak adil. Jadi disini sifat ekonomis dan politis lebih menonjol dibanding sifat religius yang sekedar sebagai pelengkap atau sebagai alat legitimasi.
Oleh karena itu penalaran pemahaman antara kedua gerakan tersebut juga berlainan. Untuk memahami proses politik pada tingkat desa, konsep radikalisme harus disesuaikan dengan latar belakang masyarakat tani. Analisis tentang radikalisme agraria harus memperhitungkan susunan dan hirarki nilai-nilai pedesaan, karakteristik lambang-lambang, serta tujuan dan pola-pola tindakan dari politik agraria tersebut.
Radikalisme agraria menurut Sartono Kartodirdjo adalah gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku, dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak istimewa atau yang berkuasa, dimana gerakan ini menarik pengikutnya dari kaum tani. Dan perlu ditekankan disini bahwa radikalisme agraria merupakan bagian dari gerakan ratu adil yang bersifat revolusioner.
Dalam mengungkapkan sebab-sebab gerakan ratu adil, kita akan menemui kesulitan ibarat sulitnya mencari ketulusan penjajahan. Kesulitan itu terjadi karena adanya kecenderungan untuk menerangkannya dari kolonialisme serta menghubungkannya dengan proses modernisasi. Akan tetapi fokus yang paling sering dikemukakan adalah akibat utama dari dominasi Barat, yaitu kehancuran sistem ekonomi politik tradisional dan terjadinya disintegrasi kebudayaan.
Diketahui bahwa identitas budaya kaum tani terikat secara tidak terpisahkan dengan agama mereka, sehingga mereka akan cenderung mempertahankan identitas tersebut apabila diancam oleh nilai-nilai asing. Oleh karenanya, radikalisme agraria harus pula dianalisis didalam sorotan persaingan untuk memperoleh kesetiaan kaum tani. Stratifikasi sosial masyarakat pedesaan pada masa-masa pra dan pasca kemerdekaan pada umumnya ditentukan oleh pemilikan tanah, disamping oleh jabatan keagamaan. Stratifikasi ini terdiri dari 2 (dua) golongan besar yaitu kaum bangsawan atau tuan tanah, dan kaum buruh tani.
Pada masa kolonial, para bangsawan yang biasanya kurang taat agamanya dibandingkan kaum tani dan santri, banyak diangkat sebagai pejabat sipil. Hal ini oleh pemerintah Belanda dimaksudkan untuk memecah belah atau memperhebat antagonisme antara elit priyayi abangan (para birokrat tradisional) dengan masyarakat desa (santri atau kaputihari) yang dianggap berbahaya bagi hegemoni jajahan. Dengan demikian diskriminasi yang dilakukan Belanda ini akan mengakibatkan kaum tani yang dahulu mendukung para bangsawan (pelajari tentang konsep manunggaling kawula-gusti) berbalik memusuhi mereka. Dari sini terlihat betapa politik devide et impera begitu jahatnya menciptakan permusuhan antar penduduk pribumi. Dan inilah yang merupakan salah satu alasan timbulnya radikalisme dikalangan wong cilik atau kawula alit.
Mengenai ciri-ciri khusus radikalisme agraria, tidaklah mungkin dikategorikan kedalam pemberontakan kaum tani secara definitif dan semata-mata bersifat ratu adil, juru selamat, pribumi atau perang suci. Ini berarti bahwa dalam setiap gerakan tercakup corak-corak milenarianisme, mesianisme, nativisme dan kepercayaan kepada perang salib.
Dari penjelasan diatas, secara tersirat telah terkandung 3 (tiga) kelompok manifestasi dalam radikalisme agraria. Kelompok pertama mencakup pergolakan pergolakan agraria yang memuat ketidakpuasan sosial ekonomi lokal sehingga ideologi menjadi sangat penting. Contoh kelompok ini adalah pemberontakan Bekasi tahun 1869. Dalam kelompok kedua, terjadi protes yang digeneralisasikan dari kekerasan ekonomi khusus menjadi kritik yang lebih luas mengenai kemerosotan budaya dan moral. Salah satu contoh adalah peristiwa Hajji Rifangi di Kalisasak tahun 1870-an. Adapun kelompok ketiga memperlihatkan perkembangan tipe protes keagrariaan yang lebih berbau politik, dengan pengertian bahwa keluhan-keluhan petani dan merosotnya nilai budaya memberikan petunjuk untuk memanfaatkan rangkaian tradisi gerakan ratu adil, kepribumian dan perang suci sebagai titik tolak ideologi perlawanan mereka. Contoh gerakan protes yang lebih bersifat politis ini adalah peristiwa Kiai Nurhakim dan peristiwa Cimareme tahun 1919 yang dipimpin oleh Haji Hasan. http://id.wikipedia.org/wiki/Angkatan_Perang_Ratu_Adil Pada masa-masa setelah kemerdekaan, gerakan-gerakan tersebut dapat dibagi kedalam 2 (dua) golongan. Yang pertama merupakan gerakan sosial yang mewakili suatu penolakan lengkap dari apa yang secara konvensional dipandang sebagai politik. Gerakan ini percaya bahwa perubahan secara mendasar dalam suatu peristiwa hanya dapat terjadi melalui bentuk kebangkitan kembali keagamaan, baik kebangkitan kembali Islam radikal atau nilai-nilai dan adat istiadat abangan. Contoh gerakan ini misalnya gerakan Hidup Betul dan Agama Adam Makrifat yang didirikan oleh Rama Resi Pran-Suh Sastrasuwignya. Adapun golongan kedua mencakup gerakan sosial yang mempunyai watak politik tinggi dan revolusioner. Sebagai contoh dapat ditunjuk misalnya gerakan Embah Sura di Ngingil dan gerakan Semana di Loano,Purworejo.
Peristiwa-peristiwa yang beberapa tahun ini memperlihatkan, bahwa penduduk desa lambat dalam proses politik dan barang tentu bahwa persaingan politik di desa tidaklah seintensif sebagai mana telah terjadi di kota-kota. Sekalipun demikian, contoh-contoh mobilisasi politik kaum tani ini hanyalah merupakan ungkapan-ungkapan paling baru dan dramatis dari pada keresahan agraria yang terus menerus terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Dari arsip-arsip pemerintahan Hindia Belanda dan surat-surat kabar serta majalah selama zaman kolonial kita ketahui adanya bentrokan-bentrokan yang berulang-ulang antara kaum tani dan pemerintah jajahan. Secara keseluruhan sumber-sumber ini menjelaskan bahwa para penguasa kolonial dihadapkan pada ketidakpuasan yang tersebar luas dan berakar dalam masyarakat desa. Pemberontakan-pemberontakan agraria yang terpencar-pencar selama dua abad yang lalu, apapun tujuan yang meraka nyatakan, semuanya mengungkapkan suatu protes mendasar terhadap keadaan hidup yang tengah berlangsung di pedesaan. (Sartono Kartodirdjo, 1992:3 7)
3. Peristiwa Tradisional
a. Desa dan Sistim Sosialnva
Karena gerakan-gerakan Ratu Adil di Jawa merupakan suatu gejala pedesaan yang tumbuh dengan subur, maka tiap pembicaraannya hendaknya di mulai dengan suatu analisis internal tentang struktur masyarakat desa serta tempatnya di dalam kerangka masyarakat tradisional. Satuan dasar politik masyarakat desa di Jawa adalah desa (dukuh) yang tradisi atas kelompok rumah-rumah yang relatif besar beserta kebun-kebun yang ada disekitarnya. Di dalam desa, kehidupan ekonomi dan sosial berpusat di sekitar batih (keluarga inti) sekalipun suatu sistim kekerabatan dua pihak yang diperluas masih tetap memainkan fungsi-fungsi peninggalan yang penting. Sebagai suatu masyarakat kecil, hubungan dengan sesamanya yang tertutup dan kerap kali terpencil, Desa sangat berkepentingan didalam mempertahankan keserasian internal dan kerjasama yang baik. Kepentingan ini diungkapkan di dalam sistim sosial Desa oleh seperangkat kewajiban yang diformalkan secara konsentrasi yang di bebankan kepada setiap petani, kepada kerabatnya, kepada tetangga-tetangga dan rekan-rekan sedesanya. (Sartono Kartodirdjo, 1992:41 )
Seperti dalam masyarakat agraria lain, tanah milik adalah merupakan penentu status yang utama untuk membagi-bagikan tanggung jawab masyarakat yang sesuai dengan status tersebut. Di dalam hirarki status, kita dapati berbagai kelas petani pemilik (kuli kenceng), penyewa tanah (kuli karang kopek atau kuli ngindung), dan buruh tani atau pekerja upah (kuli ngidung tlosor, manumpung atau bujang). Stratifikasi sosial juga didasarkan pada lamanya bermukim di desa dengan status tertinggi dikaruniakan kepada keturunan-keturunan pembangun desa, cikal bakal. Namun, status dan peranan keluarga-keluarga yang telah lama menetap (sikep ngarep) dapat dibedakan dengan nyata dari mereka yang baru saja datang (sikep buri). ( Sartono Kartodirdjo, 1992:41 )
b. Jaringan Ilmu Sihir dan Agama
Kebudayaan tradisional Jawa diliputi oleh suatu keyakinan yang kuat akan hal-hal yang gaib. Kehidupan manusia berwujud di dalam suatu yang berkaitan dengan waktu kudus dan ruang kudus. Hidup itu dilingkupi makhluk halus serta didominasi oleh pemujaan -pemujaan dan upacara upacara keagamaan. Sekumpulan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat keagamaan dan kekuatan gaib yang sama-sama di anut oleh sang tuan dan sipetani, melengkapi seluruh masyarakat dengan sebuah kerangka lambang-lambang kaidah-kaidah dan nilai. Kendatipun ada kerangka ini, masyarakat desa dengan kaum priyai tradisional jawa mengembangkan ragam-ragam baru atas acuan dasar sesuai dengan lingkungan ekologinya masing-masing dan tingkat-tingkat pengalaman duniawinya. Apabila elite cenderung untuk menciptakn sejenis individualisme kebatinan gaib yang berorientasi kepada kekuasaan, maka kaum petani dipengaruhi oleh kekuatan gaib dan ramalan-ramalan Ratu Adil. Jadi tertariknya kaum tani kepada kepercayaan-kepercayaan gaib dan Ratu Adil pada dasarnya bersumber pada kesadaran penuh atas keadaan-keadaan sendiri. Dalam meneliti perkembangan gerakan sosial khususnya di Jawa, seorang tidak hampir menemukan praktek yang pada hakikatnya bersifat kepercayaan kepada jimat. Kepada para peserta gerakan sosial yang bersifat pemberontak, yang menghadapi penindasan dengan kekerasan dari pihak pemerintah, pemujaan jimat memberikan perlindungan rohani dan mendorong keberanian yang semakin besar. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:42-43 )
c. Petani dan Bangsawan dalam Masyarakat Jawa Tradisional
Hubungan antara kaum tani dan kaum elite mengandung unsur-unsur pertentangan yang hebat dari prasetia dan keterasingan (alienasi). Senantiasa ada jurang pemisah ekonomi dan sosial antara bangsawan dan kaum tani, tetapi mereka disatukan oleh berbagai pranata (institusi), politik dan budaya. Hubungan institusi yang terkuat dalam masyarakat Jawa tradisional adalah anak semang (Jawa Swita), suatu sistim hubungan-hubungan klien yang meluas keseluruh masyarakat dari atas sampai kebawah. Akibat pranata ini adalah suatu pertukaran jasa-jasa yang tidak simetris dengan si klien menyediakan produksi atau tenaga kerja sebagai imbalan bagi perlindungan jasmani mereka, peluang-peluang kemajuan dan status yang meningkat. Desa-desa menyediakan landasan produktif bagi negara dan yang dilindungi, setidak-tidaknya menurut teorinya, oleh si penguasa. Jasa-jasa pribadi (Caos), kepada istana (Kraton), dilaksanakan atas dasar saling hubungan klien. Kewajiban-kewajiban militer pun sering di golongkan di bawah Rubrik ini sistem ke klienan tidak terbatas kepada istana raja, melainkan di perluas sampai kepada hirarki birokratik. (Sartono Kartodirdjo, 1992:47 )
Pada umumnya, kepribadian dan ciri khusus Hirarki sosial politik, tidak mampu lagi menolong untuk mencegah dikotomi yang terlalu kaku dan menonjol antar elite kiyai yang memerintah dan landasan mashabnya. Hubungan klien adalah merupakan suatu yang di anggap elastis yang memperkenankan suatu pengarahan keluarga kaum tani untuk memasuki sekurang-kurangnya golongan elit setempat, sistem klien menyuguhkan suatu konsepsi tentang negara yang memadukan suatu tertib hirarki yang kukuh dengan kemungkinan-kemungkinan mobilitas yang cukup kuat dan perubahan di dalamnya. Sistem itupun mencegah suatu perbedaan budaya yang terlalu tajam antara kaum elite dengan masa dimana klien pada tiap tahap mengambil perlindungannya sebagai model budayanya dan sesuai dengan itu, suatu acuan umum dan nilai-nilai cenderung untuk tersebar keseluruh masyarakat di dalam kerangka kebudayaan abangan yang lebih luas. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:48)
4. Perlawanan dan Pertikaian di dalam Proses Perubahan Sosial-Kultural
Sekali pun dampak kekuasaan Belanda atas masyarakat jawa tidak di rasakan sekaligus sepenuhnya di dalam segala kepentingannya, sejak awal permulaannya pada abad ke-17 dampak itu telah menggerakkan perubahan politik yang mendasar serta tidak dapat berulang kembali Kompeni Hindia Timur mencita-citakan suatu yang relatif praktis tetapi berhubungan erat dengan elite-elite jawa setempat yang telah jatuh di bawah pengawasannya. Selama menjunjung tinggi prinsip campur tangan millenium, kompeni mempekerjakan kelompok-kelompok bangsawan ini sebagai mata rantai perantara yang menentukan di dalam mengembangkan struktur pemerintahan tak langsung. Dengan adanya struktur Hirarki masyarakat jawa, maka kekuasaan tertinggi merupakan suatu alat yang potensial untuk memeras hasil-hasil bumi dan jasa-jasa para petani. (Sartono Kartodirdjo,1992:50)
Sebagai suatu konsekuensi timbullah pergeseran secara perlahan-lahan dari warisan tradisional kepola-pola rasional yang legal. Pertumbuhan suatu kumpulan aturan-aturan hukum yang membatasi berkembangnya fungsi-fungsi bupati yang semakin terperinci hanyalah merupakan awal dari suatu proses birokratisasi yang mendalam berlangsung sepanjang abad itu. Suatu langkah penting di dalam perkembangan ini adalah perbedaan dan pemisahan sebagai kekuatan ekonomi dari kekuatan politik. Di bawah pengaruh Barat berikut proses sekularisasinya peranan baru yang di paksakan dari luar cenderung menggantikan peranan-peranan para Bupati yang tradisional dan bawahan mereka. Diperkenalkannya suatu aturan prestise baru di kalangan elite birokratis kiyai yang didasarkan kriteria barat, berturut-turut meregangkan urat-urat nadi pranata budaya politik dan menciptakan suatu perbedaan kebudayaan yang nyata antara elite ini dengan masyarakat jawa lainnya. Telah kita perhatikan bahwa pertikaian antara Priayi dan elite-elite keagamaan, pada dasarnya terjadi atas perbedaan-perbedaan ideologi dan status sosio-ekonomi. (Sartono Kartodirdjo, 1992:51 )
5. Ciri-ciri Khusus Radikalisme Agraria
Sejarah radikalisme agraria secara terperinci, pertama kita akan mempertimbangkan empat lambang khusus atau ciri-ciri idiologis yang dapat di temukan dalam semua gerakan : Milenarianisme, Mesianisme, Nativisme, dan kepercayaan terhadap perang suci. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:53 )
Milenarianisme adalah gerakan yang mencita-citakan diakhirinya ketidakadilan dan dipulihkannya keharmonisan. Namun sebelum hal itu terwujud, akan didahului atau ditandai dengan bencana alam, dekadensi moral dan kemelaratan masyarakat. Kepercayaan mesianistis merupakan suatu gagasan tentang juru selamat yang menyatakan suatu abad keemasan, dimana gerakan mesianistis inipun cenderung bersifat milenarianistis. Adapun nativisme atau kepribumian seperti telah disinggung diatas yaitu suatu tuntutan bagi pemulihan nilai dan cara hidup tradisional yang telah mengalami degradasi akibat ulah tingkah orang asing. Namun dalam prakteknya, gerakan kepribumian ini tidak hanya ditujukan kepada kekuasaan asing, melainkan juga kelas Jawa yang sedang berkuasa (elite birokrasi pribumi) yang dianggap sebagai pengkhianat.
Unsur-unsur idiologis ini tidak dapat di bedakan dengan tegas di dalam radikalisme agraria di Jawa pada abad ke 19 dan ke 20. Tidak mungkin mengkategorikan pemberontakan-pemberontakan kaum tani saat ini secara devinitif dan semata-mata bersifat Ratu Adil, juru selamat, pribumi atau perang suci : hampir semuanya mempunyai sifat sinkretisme yang bercorak Jawa. Di dalam penonjolan kembali identitas tradisional ini mata rantai gerakan Ratu Adil dan nativisme cukup jelas. Di dalam contoh-contoh lain para nativisme menolak nilai-nilai asing dominasi orang kulit putih, perubahan sosial yang dipaksakan dari luar mengungkapkan dirinya secara idiologi di dalam seruan untuk mengobarkan perang suci. Adapun kaum muslimin yang saleh, mereka dapat melihat perang suci sebagai pintu gerbang menuju suatu kerajaan Ratu Adil yang memerintahkan masyarakat menurut nilai-nilai Islam untuk selamanya. ( Sartono Kartodirdjo, 1992:54 )
6. Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus Korps Speciaale Troepen (KST), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. a. Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan. Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling. b. Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya. Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST. c. Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta. Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi. d. Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal total. Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel. Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu. Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
B. GERAKAN MELALUI ORGANISASI KEAGAMAAN
1. Peranan Elit Agama
Sejak berdirinya Hindia Belanda, dominasi barat terhadap kaum pribumi terus berkembang, tidak saja dalam bidang politik dan ekonomi, melainkan juga dalam bidang lainnya. Tidak dapat disangkal bahwa dominasi barat itu telah membawa suatu perubahan yang cukup besar terhadap struktur masyarakat setempat yang pada akhirnya telah mendorong terciptanya kondisi yang meresahkan dan memungkinkan terjadinya gerakan sosial. Seperti dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo, dominasi barat dalam bidang ekonomi, politik, dan kultural atas orang-orang pribumi, akhirnya mengakibatkan timbulnya disintegrasi dikalangan masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya, sehingga terjadi pemberontakan melawan belanda. (Moh Iskandar dkk, 2000:37 )
Pemberontakan santri di Sumatra barat yang dimaksudkannya, tidak lain adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Paderi di daerah Bonjol, Sumatera Barat yang dipimpin oleh ulama besar Malim Basa yang lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi yang dijiwai oleh semangat Jihad Fi Sabilillah di motori oleh para alim ulama, dengan semangat keislaman dan cinta tanah air mengadakan perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Karena tidak seimbang kekuatan dan juga karena berhasilnya Belanda memperdaya golongan adat yang tidak senang dengan gerakan kaum paderi, maka perlawanan kaum paderi, dapat di padamkan. Walaupun akhirnya gerakan itu dapat dipatahkan namun gerakan pembaruan dan semangat perjuangan menjalar dalam darah rakyat Indonesia. (Moh Iskandar dkk, 2000:40 )
Perlawanan santri di Jawa tengah, tidak lain adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Di Ponegoro, dibantu antara lain oleh Kiai Maja, seorang ulama terkenal waktu itu. Perang Di Ponegoro dikenal dengan sebutan Java Ooriog merupakan perlawanan rakyat setempat terhadap kekuasaan kolonialis Belanda yang menerapkan sistim tanam paksa, kerja paksa, dan penyerobotan atas tanah masyarakat, dan semuanya itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang berkepanjangan. ( Moh Iskandar dkk, 2000:41)
Pemberontakan santri di Aceh yang berlangsung pada tahun 1873-1903, adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Cut Nya Dien yang dikenal sebagai perang Aceh. Pemberontakan di Aceh pada mulanya di pimpin oleh Teuku Umar suami Cut Nya Dien sendiri. Setelah Teuku Umar mati sahid di Meulaboh, pemimpin perang kemudian diambil alih oleh Cut Nya Dien. ( Moh Iskandar dkk, 2000: 41)
3. Sarekat Islam
Sarekat Islam (SI) adalah salah satu perkumpulan emansipasi yang didirikan pada periode 1900-1915. Sejauh manakah SI berbeda dengan perkumpulan-perkumpulan yang lain? la tidak berbeda dalam tujuan pokok , yaitu emansipasi golongan sendiri, tetapi berbeda dalam hal berikut; pertama SI mencapai perkembangan yang hebat yang tidak terimbangi oleh organisasi manapun, kedua SI menyolok karena memiliki keluasan dalam bidang kegiatannya. (http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Sudah sejak beberapa waktu di Surakarta terdapat suatu perkumpulan rahasia Jawa-Cina yang bernama Kong Sing. Anggotanya terdiri dari pengusaha terkemuka baik Cina maupun Jawa. Di dalamnya termasuk pula Samanhoedi (seorang pengusaha batik di kampong Lawean, Solo). Timbul cita-cita emansipasi di kalangan orang Cina mengakibatkan sikap orang-orang Cina berubah dalam tahun-tahun sekitar 1911. Demikian pula dalam tubuh Kong Sing terjadi kerenggangan antara anggota-anggota Cina dan Jawa. Hal ini mungkin sekali meledak karena peristiwa-peristiwa di Surabaya pada bulan Februari 1912, yakni kerusuhan dalam penduduk golongan Cina. Ketika bentrokan dengan polisi, seorang Cina terbunuh dan beberapa orang lainnya luka. Sebagai akibatnya di Surabaya terjadi pemogokan besar perdagangan orang Cina yang melumpuhkan kehidupan ekonomi. Selain hal itu kemungkinan orang-orang Jawa telah lebih dulu keluar dari perkumpulan ini dan mendirikan perkumpulan sendiri yang bernama Rekso Rumekso. Dari perkumpulan inilah akhirnya lahir Sarekat Islam (SI) dengan H. Samanhoedi sebagai pimpinannya. (http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Gerakan emansipasi SI telah menyebar hingga di luar Surakarta. Pada bulan Mei, empat wakil pengurus SI di Solo berangkat ke Surabaya untuk mengadakan propaganda bagi perkumpulan yang baru ini. Salah seorang yang mula-mula sekali mereka hubungi adalah Hasan Ali Soerati, seorang keturunan keluarga saudagar Islam kaya yang berasal dari India. Soerati adalah ketua perkumpulan Taman Manikem (manikam;permata, taman;kebun). Di gedung perkumpulan ini diselenggarakan pertemuan. Anggota-anggota SI dari Surakarta menguraikan tujuan perkumpulan mereka. Pada kesempatan ini orang-orang Solo juga berkenalan dengan Tjokroaminoto yang hadir sebagai ketua perkumpulan panti Harsoyo. Sehari kemudian dilantiklah Soerati dan Tjokroaminoto sebagai anggota baru SI. Gerakan ini meluas pula ke tempat-tempat lain di Jawa, selain dari Surabaya. Pada bulan September, berdasarkan akta notaris, ditetapkan anggaran dasar baru SI oleh Tjokroaminoto, serta dimajukannya permohonan resmi untuk mendapatkan pengakuan badan hukum bagi perkumpulan baru ini.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Pada 26 Januari 1913, di taman kota Surabaya diselenggarakan kongres pertama SI. Pada malam menjelang pertemuan ini, H. Samanhoedi sebagai pendiri perkumpulan ini disambut secara besar-besaran. Kongres ini dihadiri delapan sampai sepuluh ribu orang dan dipimpin langsung oleh Tjokroaminoto. Pada 23 Maret, SI mengadakan kongres umum yang kedua di Surakarta. Pertemuan diselenggarakan di taman istana Susuhunan dan malam menjelang kongres dipilih pengurus besar yang selanjutnya bernama Centraal Comite dengan H. Samanhoedi tetap terpilih sebagai ketua dan Tjokroaminoto sebagai wakilnya. Pada kongres kedua inipun dihadiri oleh sejumlah besar peminat yang ditaksir tujuh ribu sampai dua puluh ribu orang. Sesudah kongres yang diadakan di kedua tempat tersebut, SI berkembang semakin pesat.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Kongres berikutnya tahun 1914 dilangsungkan di Yogyakarta dari tanggal 18 sampai 20 April. Tujuan utama pertemuan adalah menetapkan anggaran dasar dan memilih Centraal Comite yang baru. Pemilihan memberi kemenangan definitif bagi Tjokroaminoto atas Samanhoedi, Goenawan menjadi wakil ketua. Pergantian kekuasaan ini berlangsung bukan tanpa pertarungan. Samanhoedi sebagai "bapak" SI terpaksa menelan pil pahit dengan hanya diangkat menjadi ketua kehormatan. Sesudah pemilihan ia tidak pernah lagi menghadiri kongres selanjutnya. Perselisihan antara para pengikut Tjokroaminoto dan para pengikut Samanhoedi kemudian dilanjutkan dalam pers. Meskipun dalam keadaan yang demikian, gerakan ini bertambah luas bahkan juga tersebar di seluruh Sumatera dan Kalimantan. http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
SI sangat aktif dan menunjukkan sifat yang luar biasa dinamis. Kegiatan SI yang praktis dapat dibagi dalam kategori berikut. Pertama kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan para anggota, seperti dibentuknya toko-toko koperasi dan usaha-usaha lain, mendirikan sekolah-sekolah, dan sebagainya. Kedua, meniadakan keluhan dan memperjuangkan perubahan dalam bidang pemerintahan, peradilan , pendidikan umum, dan politik keagamaan pemerintahan. Ketiga, meniadakan keluh-kesah dalam bidang keuangan dan ekonomi. Dalam hal meniadakan keluhan, SI memainkan peranan "pra-Parlemen" sekian lama sebelum terdapat suatu perwakilan rakyat yang sejati di Indonesia, dan disinilah letak arti SI.
Dalam berbagai pikiran tentang emansipasi yang berlaku dalam kalangan SI dapat dibedakan unsur-unsur berikut:
a. Penolakan akan bermacam-macam prasangka negatif terhadap golongan penduduk Indonesia dan perlakuan yang tidak sama antara bangsa Indonesia dan bukan bangsa Indonesia
b. Penghargaan yang positif terhadap identitas diri
c. Cita-cita penentuan nasib sendiri dalam politik
d. Anti kapitalisme
Berbagai cara yang ditempuh pemimpin-pemimpin SI untuk menyadarkan rakyat bahwa sikap selalu merasa diri lebih rendah dan mengiakan segala-galanya itu salah. Mereka melakukan protes terhadap ucapan-ucapan diskriminasi dari orang Cina dan Eropa terhadap wakil golongan penduduk Indonesia. Mereka menantang terhadap tata cara penghormatan tradisional. Dalam pers dan pidato, mereka terus menekankan bahwa sekarang tidak masanya lagi orang Indonesia merasa lebih rendah berhadapan dengan setiap orang Eropa atau Cina yang ditemuinya. Bahwa sebutan wong cilik itu keliru karena manusia sama derajatnya di hadapan Tuhan. Mereka senantiasa mengungkapkan bahwa orang mempunyai hak memprotes dengan cara-cara yang layak terhadap kesewenangan yang resmi, dan bahwa orang tidak perlu takut dalam mempergunakan haknya. Mereka jelaskan kepada para petani gula bahwa mereka tidak wajib menyewakan tanahnya untuk jangka waktu yang lebih lama kepada pabrik. http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
SI telah menyadarkan lapisan-lapisan luas masyarakat Indonesia dari keterbelakangannya dan dari kenyataan orang tidak begitu saja harus pasrah. Beberapa contoh yang terjadi; seorang pegawai muda bernama Soemarsono, menolak merangkak di tanah untuk menghadap majikannya yang baru, asisten residen Karawang. la pun tampil dengan mengenakan pakaian Eropa, atau pada seorang wartawan Marco yang yang justru mengenakan pakaian Jawa bila ia pergi bersama-sama orang Eropa ke gedung kesenian karena ia tidak ingin mengingkari identitasnya. Di Surabaya, anggota-anggota SI membanggakan diri bahwa kini orang mempunyai residen sendiri. Di Surakarta, pemimpin-pemimpin di lingkungan SI menawarkan jasanya dengan sadar kepada para pejabat untuk mendampingi mereka dalam melakukan tugas kepolisian dan pemadam kebakaran. Para petani di daerah gula juga mulai meminta harga yang lebih tinggi untuk tanah mereka. Di perkebunan-perkebunan daerah Malang, kuli-kuli menjadi semakin keras sikapnya. Di tanah-tanah swasta sekitar Surabaya, orang bangkit melawan tuan-tuan tanah. Karyawan Maskapai Tram Semarang Juwana dan juga dari perusahaan-perusahaan lain di daerah Rembang, berusaha melakukan pekerjaan mereka lebih baik untuk menunjukkan bahwa mereka tidak kalah dari ras-ras lainnya. . http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Sehubungan dengan harapan, para penganut gerakan SI yang tergolong masyarakat biasa memiliki hasrat akan masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini muncul gejala "milenarisme". Istilah ini mencakup berbagai macam gerakan yang revolusioner primitif yang acap kali muncul di kalangan bangsa atau golongan yang kurang berpendidikan. Penganut gerakan milenarisme percaya bahwa akan segera tiba masyarakat yang seluruhnya baru yang akan melenyapkan kekurangan. Kebanyakan gerakan milenaristis di Indonesia mesianistis sifatnya, yaitu orang percaya bahwa akan tercipta suatu negara bahagia oleh seorang juru selamat adikodrati atau mesias. Sang mesias dalam tradisi milenarisme Jawa adalah tokoh Ratu Adil. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 kadang-kadang orang dapat mengkonstatasi adanya gerakan milenaristis yang lebih primitif bergandengan dengan gerakan sosial yang modern. http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Di Indonesia pun terlihat perbauran ini muncul dalam gerakan SI yang pada dasamya memperlihatkan sifat-sifat milenaristis yang kuat, walaupun ia merupakan gerakan yang modern dan rasional. Harapan mesianistis dalam rangka SI tertuju pada Susuhunan Surakarta, juga terhadap Mangkunegara. Residen Surakarta menyatakan bahwa pada kongres SI di Surakarta (1913) tersebar desas-desus bahwa H. Samanhoedi bertindak sebagai utusan Susuhunan di sana. Hal yang sama pula terjadi dengan beredarnya cerita Tjokroaminoto di sekitar Sidoarjo, Surabaya. Pada saat mengadakan rapat umum di sana, banyak massa berdatangan memenuhi jalan dan alun-alun. Mereka bukan anggota SI, tetapi hanya peminat yang diperkirakan berjumlah puluhan ribu orang. Walaupun dilarang untuk berjabatan tangan dengan Tjokroaminoto, mereka tetap bersikeras berdesak-desakan demi bertemu dan melihat sang pemimpin. Dari segala jurusan, orang memegang Tjokroaminoto, mencium tangannya, bahunya, bahkan tepi jasnya. Selain itu SI cabang Sumenep di Madura menyebut Tjokroaminoto Whisnu kami, ini merupakan sebutan mesianistis yang jelas dimana tokoh mesias di Jawa sering dianggap sebagai penjelmaan salah satu dewa Hindu. http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Pada umumnya reaksi sikap pemimpin SI menolak terhadap gejala milenarisme dalam gerakan tersebut Tjokroaminoto sendiri tidak menerima peranan mesias yang diberikan kepadanya, namun ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi pengikutnya yang demikian. Dalam pidatonya pada kongres di Bandung, Tjokroaminoto berkata, "Walaupun hati kita penuh dengan harapan dan hasrat yang agung, tidak pernah kita bermimpi akan datangnya seorang Ratu Adil, atau keadaan-keadaan lain yang mustahil”. Walaupun titik berat gerakan SI terletak di Jawa, SI merupakan gerakan emansipasi Indonesia yang pertama, yang merekrut anggota-anggotanya praktis dari seluruh Indonesia. Para pemimpin SI melakukan perjalanan keliling di Jawa dan luar Jawa untuk mencari cabang-cabang dan anggota. Hanya di beberapa bagian di kepulauan Indonesia SI tidak memperoleh pengikut yang berarti jumlahnya. Misalnya di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi, dan bagian lain di Indonesia Timur. Hal ini karena baru belakangan gerakan ini masuk ke sana. Berbeda dengan SI, baik BO (Boedi Oetomo) maupun IP (Indische Partij) tidak dapat membanggakan diri mempunyai penganut yang berarti jumlahnya di luar Jawa. BO hanya membatasi radius kegiatannya pada penduduk Jawa dan Madura.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/)
Pada suatu kongres 1917 perkumpulan ini menolak sebuah usul untuk membuka keanggotaan bagi penduduk daerah lain dengan alasan bahwa memang terdapat persatuan di antara penduduk Jawa dan Madura tetapi tidak di seluruh Indonesia. Sedangkan IP pada prinsipnya terbuka bagi semua penduduk Indonesia tetapi seperti kita ketahui perkumpulan ini pada pokoknya tetap merupakan perkumpulan orang Indo-Eropa. Memang, SI juga mengadakan pembatasan pada keanggotaan dengan mengizinkan perkumpulan hanya dimasuki oleh orang Islam, dalam prakteknya SI hanya mengecualikan golongan Kristen Indonesia, golongan yang dahulu dan sekarang hanya merupakan minoritas di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia, setidak-tidaknya dalam nama, adalah orang Islam. Bahwa mereka tidak saleh, hal itu tidak merupakan halangan untuk menjadi anggota SI.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/
Di samping hal tersebut, agama Islam bukan merupakan suatu faktor negatif yang mengesampingkan minoritas dan bukan sekadar agama nominal dari mayoritas rakyat Indonesia. Pertama, Islam adalah salah satu faktor yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan etnis di Indonesia. Kedua, Islam mempunyai muatan psikologis yang kuat, yang mempunyai daya tarik bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Terutama bagi banyak orang Indonesia, Islam berarti sisa terakhir kebebasan jiwa terhadap penjajah Belanda. Dengan hal itu dia memenuhi kebutuhan mereka akan harga diri. Atau seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgronje, "kebanyakan bumiputra terikat pada agamanya sebagai salah sebuah barang yang hanya sedikit jumlahnya, yang boleh mereka anggap sebagai milik mereka yang tiada terjamah; Islam adalah yang terakhir yang masih mereka miliki setelah begitu banyak mereka dirampok oleh Belanda". http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/
Dengan memilih Islam sebagai identitasnya, SI memastikan diri menjadi sarana yang ampuh dalam cita-citanya menuju emansipasi, dan dalam usahanya di sini untuk menarik sebanyak mungkin orang Indonesia dari berbagai kepulauan. Dan mengingat keberhasilannya dapatlah kita menganggap SI sebagai gerakan yang telah memberikan sumbangan penting bagi penyatuan Indonesia.
http://dewiyulianaindah.wordpr|ss.com^ adil%E2%8Q%9D/
Tiga tahun berdirinya Boedi Oetomo, pada tahun 1911 bagaikan suatu kebetulan didirikanlah perkumpulan Sarekat Islam di Solo. Latar belakang ekonomis perkumpulan ini hanyalah perlawanan terhadap pedagang antara ( penyalur ) orang Cina. Sungguhpun demikian kejadian itu merupakan isyarat bagi orang muslim bahwa telah tiba waktunva untuk menunjukan kekuatannya. Para pendiri Sarekat Islam mendirikan organisasinya tidak semata- mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina. Tetapi membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera. la merupakan reaksi terhadap rencana krestenings-politeik ( politik peng-kristenan ) dari kaum zending, perlawanan terhadap kecurangan dan penindasan dari pihak ambtenar-ambtenar bumiputera dan Eropa. (Sartono Kartodirdjo, 1975:187 )
Pemerintah Hindia Belanda menghadapi situasi yang demikian hidup dan mengandung unsur-unsur revolusioner, menempuh jalan hati-hati dan mengirimkan salah seorang penasehatnya kepada organisasi tersebut. Gubernur Jenderal Indenburg meminta nasehat-nasehat dari para residen untuk menetapkan kebijaksanaan politiknya. Hasilnya ialah untuk sementara SI tidak boleh berupa organisasi yang mempunyai pengurus besar dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal.( Sartono Kartodirdjo, 1975:188 )
Para pemimpin Sarekat Islam akhirnya terpaksa harus menerima kenyataan bahwa SI waktu itu tidak dapat berdiri sebagai suatu organisasi yang bersifat nasional, namun sebagai organisasi lokal. Dengan demikian para pemimpin SI terpaksa harus puas dengan adanya SI lokal. Ternyata status hukum seperti itu tidak menjadi penghambat para pemimpin SI lokal untuk menarik simpati masyarakat. Tjokroaminoto misalnya, dengan gaya kepemimpinannya berhasil menarik simpati masyarakat, tidak saja kalangan pedagang dan pelajar, tapi juga kalangan birokrasi. Dalam waktu relatif singkat, anggota SI mencapai puluhan ribu orang, bahkan ada yang menyebutkan sampai dua juta orang. ( Moh Iskandar dkk, 2000 : 47 )
Itulah sebabnya lain dari pada partai lainya, maka kecepatan tumbuhnya SI bagaikan meteor dan meluas secara horisontal, sehingga SI merupakan organisasi massa yang pertama di Indonesia, yang antara tahun 1917-1920 sangat terasa pengaruhnya di dalam politik Indonesia. Corak demokratis dan kesiapan untuk berjuang yang mendekatkan beberapa cabang SI dan para pemimpinnya kepada ajaran marxis. Terutama SI di bawah Semaun Darsono merupakan pelopor yang menggunakan senjata baru dalam perjuangan melawan imperealisme, yaitu teori perjuangan marx. (Sartono Kartodirdjo, 1975:188-189)
Mohammad Iskandar dkk, 2000, Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Sartono Kartodirdjo, 1992, Ratu Adil, Sinar Harapan, Jakarta.
Sartono kartodirdjo Dkk, 1975, Sejarah Nasional Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta.