A. Ketentuan dan Akibat Sewa Tanah
Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendels dari Indonesia, Jawa diduduki oleh Inggris dalam tahun 1811. Zmana pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakakan dasar-dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaannya pemerintahan kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris. (Kartodirdjo: 1977: 65).
Azas-azas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya Rafless ingin menciptakan suatu sistem ekonomidi Jawa yang bebas dari segala unsure paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh kompeni Belanda (VOC) dalam kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. (Kartodirdjo: 1977: 65)
Thomas Stanford Rafless menyebut Sistem Sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente. Peter Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa:
“Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebih tepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode colonial, dan landrente sebagai suatu sistem (Belanda: Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830”
Dalam makalah ini yang menjadi kajiannya adalah landrente atau Sistem Sewa Tanah yang berlaku antara tahun 1813-1830. Sistem sewa tanah diperkenalkan oleh Thomas Stanford Rafless, seorang Letnan Gubernur Jawa. Dalam suatu memorandum yang dikeluarkan pada 14 Juni 1813, Rafless menyampaikan idenya mengenai pajak bumi (disebut landrente karena ia menganggap pemerintah sebagai pemilik semua tanah, dank arena itu petani adalah penyewa) kepada para atasan dan pejabat bawahan.
Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan colonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas: Pertama, segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsure paksaaan apa pun juga. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan di negeri barat. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa pemerintah colonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (landrente) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. (Kartodirdjo: 1977: 66).
Prinsip dasar dari Sistem Sewa tanah adalah setiap penggarap akan dikenai pajak sesuai jumlah dan kualitas tanah pemiliknya, karena semua tanah dianggap sebagai milik pemerintah. Perintah bulan Februari 1814 ini memberikan pedoman pemungutan pajak sebagai berikut:
Sawah, kelas, pajak:
Sawah, Kelas I, ½ dari hasil sebagai pajak;
Sawah, Kelas II, 2/5 dari hasil sebagai pajak;
Sawah, Kelas III, 1/3 dari hasil sebagai pajak;
Tegal, kelas, pajak:
Tegal, Kelas I, 2/5 dari hasil sebagai pajak;
Tegal, Kelas II, 1/3 dari hasil sebagai pajak;
Tegal, Kelas III, 1/4 dari hasil sebagai pajak;
(Boomgard:2004:58)
Ketika Jawa dikembalikan kepada Belanda tahun 1816, Sistem Pajak Bumi tetap dipertahankan, walaupun perkenalan dan pelaksanaannnya selama tiga tahun kekuasaan Inggris masih jauh dari memuaskan. Sistem sewa tanah berlangsung hingga tahun 1830.
Diperkenalkannya sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social ekonomi dalam beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun. Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu itu hanyalah primus inter pares (yang pertama diantara lain-lainnya yang sederajat) dari penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas pembagian tanah-tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dalam banyka hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi bagi, dan sering dengan jatah yang sama.Kelima, Masuknya sistem baru ini didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selnjutnya semua residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan pertanian. (Boomgard:2004:60-61)
B. Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van den bosch adalah keharusan bagi rakyat jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka telah lakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Diharapkan oleh Van den Bosch bahwa dengan pungutan-pungutanm pajak dalam natura ini tanaman-dagangan bisa diperoleh dalam jumlah yang besar, yang kemudian dapat dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual di sana kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan yang besar bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda. (Kartodirdjo: 1977: 75).
Dalam salah satu prasaran yang telah ditulis Van den Bosch sebelum ia dikirim ke Indonesia terdapat suatu perkiraan bahwa produksi tanaman-eksport dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15 sampai f.20 juta setiap tahun, jika sistem tanam yang dipraktekkan di Parahyangan juga diintroduksi di daerah-daerah lainnya. Van den Bosch yakin bahwa paksaan seperti dijalankan VOC adalah cara terbaik untuk memperoleh tanaman-dagangan untuk pasaran Eropa, karena ia menyangsikan bahwa perkebunan-perkebunan Eropa yang mempekerjakan tenaga-tenaga kerja yang bebas dapat bersaing dengan perkebuna-perkebunan di Pulau Karibia, Hindia Barat, yang menggunakan tenaga budak. Di lain pihak Van den Bosch berkeyakinan bahwa penghapusan sistem pajak tanah dang penggantian sistem ini dengan penyerahan wajib juga akan menguntungkan para petani, karena dalam kenyataannya pajak tanah yang perlu dibayar oleh para petani sering mencapai jumlah sebanyak sepertiga sampai separuh dari hasil pertaniannya. Jika kewajiban pembayaran pajak tanah ini diganti dengan kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu kerjanya untuk menanam tanaman dagangan, misalnya 66 hari dalam setahun, maka kewajiban ini akan lebih ringan daripada kewajiban membayar pajak tanah (Reid:2002)
C. Ketentuan Sistem Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok dari Sistem Tanam Paksa tertera dalam Staatsblad (Lembaran Negara tahun 1834, no. 22, jadi beberapa tahun setelah sistem Tanam Paksa mulai dijalankan di Pulau Jawa, berbunyi sebagai berikut:
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan denga penduduk dimana mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman-dagangan yang dapat di jual di pasaran Eropa
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman-dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah
5. Tanaman-tanaman yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman-dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat;
6. Panen tanaman-dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kekurangan kerajinan atau ketekunan pada pihak rakyat;
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan apakah pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan baik dan tepat pada waktunya.
(Kartodirdjo:1977:76-77)
Dari isi ketentuan Sistem Tanam Paksa diatas nampaknya tidak terlalu membebani rakyat namun dalam praktek pelaksanaannya ternyata pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali jauh menyimpang dari ketentuan-ketentuan pokok, sehingga rakyat banyak dirugikan
D. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Asumsi dasar dari sistem tanam paksa adalah bahwa masyarakiat jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk menghasilkan tanaman perdagangan bagi bangsa eropa. Karena itu, petani-petani jawa harus dibujuk (baca: paksa) untuk menggunakan sebagian dari tanah garapannya (sampai paling kurang seperlima) dan sebagian dari tenaga kerjanya (juga seperlima, atau 66 hari kerja) untuk membudidayakan kopi, nila, dan gula. (Boomgard:2004:62).
Mereka dibayar untuk itu (apa yang disebut plantoon atau upah tanaman), dan dengan upa ini mereka dapat menyelesaikan kawajiban membayar pajak bumi. Dalam litelator kuno, adanya plantloon sering diremehkan, padahal tidak selalu disadari bahwa landrete tetap dipungut sepanjang periode tanam paksa, walaupun kadang-kadang yang dibereskan adalah keseimbangan antara plantloon dan landrente. (Boomgard:2004:62).
Juga perlu disadari bahwa, rata-rata, tidak lebih dari 6 persen jumlkah sawa seluruhnya pernah ditanami dengan tanaman perdagangan untuk pasar eropa berdasarkan sistemtanam paksa. Dipihak lain, batas 66 hari sering dilewati cukup jauh. Kita menemukan di Banyumas pada tahun1854, keluarga-keluarga penanam tebu harus meluangkan sekitar 120 hari kerja untuk mengurus tanaman ini. (Boomgard:2004:62-63)
Sistem ini diperkenalkan secara perlahan antara tahun1830 dan 1835. Menjelang tahun 1840, sistem ini sudah sepenuhnya berjalan dengan sedikit perubahan di sana sini sistem ini tetap berjalan sampai 1870, walaupun peraturan konstitusional tahun 1854, Pasal 56, telah membuat persiapan untuk menghadapi berakhirnya sistem ini. Akan tetapi, sistem ini tidak diperkenalkan di semua tempat, juga tidak pada waktu bersamaan. Sistem ini tidak pernah di jalankan di kerajaan Solo dan Jogja dan sebagian besar Madura. Priangan tetap mempunyai sistem untulk budi daya kopi secara paksa, tetapi tanaman lain diperkenalkan juga berdasarkan peraturan yang serupa dengan sitem tanam paksa. Di bayuwangi, Kediri, madiun, dan pacitan dijalankan versi yang telah sedikit diubah dari sistem Ini.(Boomgard:2004:63)
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa banyak yang menyimpang dari ketentuan- ketentuan yang diatas kecuali mungkin pada bagian ke 4 dan ke 7. Berikut ini dijelaskan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan sistem tanam paksa, yaitu:
1. Persetujuan-persetujuan dengan rakyat :
Menurut ketentuan dalam lembaran Negara tahun 1834 no. 22 maka setiap persetujuan yang diadakan pemerintah hindia belanda dengan rakyat mengenai pemakaian sebagian dari tanah pertanian mereka untuk penanaman tanaman dagangan harus di dasarkan atas kerelaan dari pihak rakyat tanpa mereka di dorong oleh unsur paksaan atau unsure ketakutan. Akan tetapi dalam kenyataan ternyata bahwa seluruh pelaksanaan sistem tanam paksa didasarkan atas unsur paksaan.
Salah satu akibat yang penting dari sistem tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik tanah bersama (milik komunal). Hal ini disebabkan karena para pegawai pemerintah koloniual cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman-penanaman paksa yang di bebankan pada tiap desa.
2. Penyerahan seperlima dari tanah rakyat :
Menurut ketentruan resmi mengenai sistem tanam paksa maka tanah-tanah milik rakyat yang harus di sediakan untuk tanaman paksa hanya boleh melipuitiu seperlima dari tanah-tanah milik penduduk desa. Dalam praktek ternyata bahwa angka ini sering dilampaui, sering mencapai separoh atau lebih dari tanah-tanah milik rakyat. Hal ini tentu sangat merugikan rakyat, dan bukan itu saja, tetapi juga membahayakan kehidupan mereka. Jika penduduk desa dikerahkan untuk menanam tanaman untuk eksport, maka mereka tentu saja tidak mempunyai cukup waktu atau tenaga untuk mengerjakan tanah mereka yang disediakan untuk penanaman tanaman bahan makanan.
Penelitian kwantitatif yang dilakukan oleh Van niel menunjukan bahwa selama sistem tanam paksa berlaku, tanah-tanah yang dikenakan sistem tanam paksa rata-rata meliputi hanya lima persen dari seluruh tanah pertanian di jawa. Angka ini tidak jauh berbeda dari taksiran gonggrijp. Malahan Van niel berpendapat bahwa lima persen ini munkin merupakan tyaksiran yang terlampau tinggi. Di lain pihak persentase keluarga-keluarga petani yang terlibat dalam sistem tanam paksa tinggi sekali, selama tanam paksa berlaku, maka persentase keluarga-keluarga petani yang terlibat dalam sistem tanam p-aksa mencapai jumlah yang melebihi 70 persen dari seluruh jumlah keluarga-keluarga petani.
3. Pekerjaan untuk peneneman paksa tidak boleh melebihi pekerjaan penanaman padi.
Dalam praktek tanam paksa tenyata dalam bahwa kebanyakan hal ketentuan ini di pegang. Para petani umumnya dipaksa untuk bekerja jauh lebih lama untuk penanaman paksa dari pada untuk tanaman bahan mereka sendiri. Tekanan atas rakyat memang berbeda dari tempat ketempat dan dari tanaman ketanaman lain, namun pada umumnya rakyat memang dipaksa untuk bekarja jauh lebvih lama untuk penanaman paksa daripada untuk nafkah mereka sendiri. Upah yang mereka terima untuk penanaman paksa sangat rendah pula.
4. Pembebasan dari pajak tanah.
Menurut ketentruan resmi maka tanah yang disediakan untuki tanaman paksa dibebaskan dari pajak tanah. Dalam praktek ternyata bahwa pelaksanaan penanaman paksa tidak begitu banyak menyimpang dari ketentuan, berbeda dengan ketentuna-ketentuan yang disebut lebih dahulu. Meskipun demikian petani-petani harus menanggung dua macam beban, yaitu pekerjaan paksa untuk menanam tanaman-tanaman export dan pembayaran pajak tanah.
5. Penyerahan selisih positif antara nilai tanaman-tanaman export dan pajak tanah kepada rakyat.
Ketentuan lain dari sistem tanam-paksa menentukan bahwa selisih positif antara nilai yang ditaksir dari tanaman-dagangan yang dihasilkan dari penanamanpaksa dan jumlah pajak tanah yang harus dibayar oleh rakyat akan digunakan untuk kepentingan rakyat. Ketentuan ini kedengarannya bagus, akan tetapi dalam kenyataan rakyat sama sekali tidak memperoleh keuntungan dari ketentuan ini.
6. Kerugian-kerugian yang diderita akibat kegagalan panen ditanggung pemerintah.
Seperti juga halnya dengan ketentuan-ketentuan lain, maka peraturan ini tidak pernah dituruti, artinya segala kerugian yang diderita akibat kegagalan panen dibebankan kepada rakyat.
7. Luasnya penanaman paksa
Dalam Tahun 1833 hanya satu seperdelapanbelas dari seluruh tanah pertanian di Jawa diperuntukkan penanaman wajib, sedangkan dalam tahun 1861 persentase ini lebih kecil lagi. Tanaman-dagangan yang terpenting yang ditanam selama sistem tanam paksa berlaku adalah kopi, gula dan nila (indigo). Pentingnya ketiga tanaman ini tidak hanya ternyata dari luas tanah yang disediakan untuk ketiga tanaman ini, tettapi juga dari jumlah orang yang terlibat dalam penanaman ketiga tanaman ini.
(Kartodirdjo: 1977: 78-84).
E. Penilaian Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa pada dasarnya merupakan suatu sistem eksploitasi yang sama seperti pernah dilakukan oleh VOC sebelumnya. Dalam sistem eksploitasi ini baik VOC maupun pemerintah colonial memanfaatkan ikatan-ikatan feudal dan tradisional yang terdapat di Jawa antara rakyat dan penguasa-penguasanya untuk kepentingan sendiri (Kartodirdjo: 1977: 96).
Karena pengaruh yang mendalam ini, maka Sistem Tanam Paksa menimbulkan berbagai perubahan dalam peri kehidupan masyarakat Jawa dengan beberapa akibat yang tidakdiinginkan, khususnya disintegrasi struktur social masyarakat Jawa. Desintegrasi ini terutama disebabkan oleh makin meresapnya ekonomi dan lalu lintas uang yang sebelumnya tidak dikenal dalam masyarakat Jawa. Perkembangan ekonomi dan lalu lintas uang ini terutama disebabkan oleh meluasnya pekerjaan upah dan penyewaan tanah para petani kepada para pengusaha-pengusaha Belanda yang dibayar dalam bentuk uang. (Kartodirdjo: 1977: 97).
Selama tahun-tahun pertama, Sistem tanam paksa membuktikan diri sebagai suatu sistem eksploitasi yang efisien yang berhasil meningkatkan penerimaan pemerintah colonial dan melalui batig slog dalam anggarannya berhasil menutupi defisit yang diderita pemerintah Belanda sendiri maupun meningkatkan tingkat kemakmuran bangsa Belanda. Dilain pihak keuntungan yang diperoleh Sistem Tanam Paksa pada umumnya tidak menguntungkan rakyat Indonesia sendiri, malahan sebaliknya sering menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang besar. (Kartodirdjo: 1977: 97).
Kemajuan-kemajuan tertentu yang terlihat selama Sistem Tanam Paksa berlangsung, misalnya perluasan jaringan jalan raya, tidak disebabkan oleh keinginan pemerintah colonial untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, tetapi terjadi karena kepentingan colonial itu sendiri. Dalam tahun-tahun terakhir makin jelas bahswa sistem Tanam Paksa sebagai suatu sistem eksploitasi kolonial tidak begitu efisien. Oleh sebab itu dan pula oleh keinginan pihak swasta Belanda untuk memegang pernana utama dalam ekspoloitasi sumber-sumber alam Indonesia, akhirnya sekitar tahun 1870 Sistem Tanam Paksa dihentukan dan terbukalah peluang bagi modal swasta Belanda untuk memasuki Indonesia. (Kartodirdjo: 1977: 97).
Tanam Paksa menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Dampak dari diperkenalkannya Sistem Tanam Paksa dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Produksi tanaman perdagangan untuk pasar Eropa meningkat luar biasa. Produksi padi dan tanaman perdagangan untuk pasar lokal mandek atau memburuk
2. Meningkatnya tekanan atas tanah, tetapi tekanan atas tenaga kerjalah yang melupakan ciri paling penting dari sistem ini.
3. Permintaan yang meningkat akan tenaga kerja ini tidak hanya melupakan akibat dari sistem baru berupa kerja paksa, tetapi juga akibat meningkatnya ketergantungan pada kerja kuli membangun jalan, jembatan, irigasi, pelabuhan, benteng, gedung, dan pabrik, serta permintaan akan transportasi dan tenaga kerja di bidang industry. Prasarana yang lebih baik merupakan salah satu dampak sampingan itu.
4. Moneterisasi yang semakin meningkat adalah soal lain lagi. Ini tentu tidak berarti bahwa jawa sebelum 1830 adalah sebuah Naturalwirtschaft.
5. Kedudukan para bupati dinaikan bersamaan dengan penerimaan mereka pada budi daya dan peran baru mereka sebagai pengawas tanaman yang diwajibkan sistem tanam paksa.
6. Kepala desa kini diawasi lebih ketat, terutama oleh pengumpul pajak dari pihak belanda. Keadaan ekonomi pengumpul pajak ini mengalami perbaikan karena ia juga mendapat bagian dari barang rampasan itui (persentase budi daya).
7. Perubahan pemilikan tanah pribumi secara turun temurun tetap berjalan
8. Sistem ini menghasilkan cukup banyak bahan statistic. Di sini saya hanya menyebut laporan budidaya tahunan (cultuur verslag, disingkat CV) sejak tahun 1834, dan laporan Kolonial tahunan (koloniaal verslag, disingkat KV) sejak 1849.
Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa)
Kartodirdjo, Sartono, Dkk. 1977. Sejarah Nasional IV Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka
Reid, Anthony (peny).2002.Sejarah Modern Awal. Jakarta: Grolier Internasional
Boomgard, Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: KITLV & Djambatan